'Saya marahin sampai dua tahun'

Abdul Muis, kakak Amar yang kini memimpin pesantren setelah ayah dan ibu mereka meninggal, semula mengaku marah dan menentang transformasi Amar.
"Amar itu berani lepas jilbab saya marahin. 'Kamu ini nggak sesuai ajaran agama'. Saya marahin terus sampai dua tahun," kata Abdul Muis.
"Saya ingin mengubah dia. Saya doakan, saya ajak ke psikolog dan sebagainya. Ikhtiar itu kami lakukan semuanya, di awal. Saya selalu bilang, kamu harus berubah, kamu harus berubah," kata dia.
Penerimaan adalah proses panjang dan menguras emosi, demikian Muis menjelaskan. Setelah bertahun-tahun berupaya mengubah namun tidak berhasil, dia dan keluarga pun berserah diri kepada Tuhan, bertawakal.
"Kalau memang yang terbaik menurut Allah seperti ini, bagaimana? Kadang kala kita berdoa minta uang tapi yang terbaik bukan uang, kesehatan misalnya. Dikasih uang, tetap sakit juga. Akhirnya saya banyak belajar, berdoa dengan meminta yang terbaik, termasuk buat adik saya," kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.
"Amar paling dekat sama Ibu, saya malah dikasih pesan, karena dianggap paling keras waktu itu. Justru Ibu yang meminta saya support Amar. Orang tua kami sangat mengerti meskipun kami dari basis pesantren, agama Islam, di mana kami tahu bahwa itu tantangannya luar biasa," kata dia.
Dalam ketidaksetujuannya, Abdul Muis juga berusaha belajar dan memahami apa itu transgender. "Saya juga banyak belajar, jadi tahu. Sekarang saya mengerti bahwa memang secara psikis dan batiniah, ada orang yang seperti itu," kata dia.
Setelah proses bertahun-tahun itu, Muis pun akhirnya menerima keadaan adiknya. Meski awalnya canggung karena perubahan nama, dia dan keluarga pun telah terbiasa memanggil nama "Amar".
Muis pun mengenang bahwa Amar memang sejak kecil "tomboy".