Kalau diusir mereka tidak punya akses lagi atau berpengaruh pada akses mereka pada pendidikan, atau hak-hak dasar. Misalnya ketika mereka dicabut dari KK, dapat bantuan pun tidak bisa karena masalah identitas dan KTP.
Itu hal yang membuat saya sedih, kenapa keluarga dan orang tua tidak dapat menerima anaknya yang trans? Kadang mereka tidak cuma diusir tapi juga dilecehkan dan menerima kekerasan.
Setelah saya transisi dan menyadari identitas gender saya sebagai laki-laki, justru saya melihat bahwa penyakit yang sebenarnya adalah ketidaktahuan orang dan kebencian.
Ketidakterimaan dan pengucilan membuat banyak orang menderita, terutama bagi orang seperti saya di luar sana yang tidak diterima oleh keluarganya.
Saya selalu percaya bahwa keluarga adalah pondasi utama untuk hal apa pun. Ketika keluarga menjadi ruang aman untuk trans, itu bisa mendorong mereka untuk kuat dan tegar mencapai impiannya.
Saya berharap ada lebih banyak orang tua yang menerima anaknya yang trans sehingga mereka tidak harus diusir atau kehilangan hak hidupnya.
Orang selalu mengatakan trans hidup di jalanan, mengamen, tapi mereka begitu karena sistem. Kawan-kawan saya begitu karena mereka ditolak keluarga, mereka begitu karena harus. Mereka terpaksa hidup seperti itu karena masyarakat kita belum menerima.
Impian saya adalah melihat agama dijadikan alasan orang untuk berlaku adil kepada orang lain.
Agama tidak pernah punya tafsir tunggal. Tafsir dalam agama itu pasti beragam dan tidak bisa disamaratakan. Kalaupun dari sisi agama orang punya pendapat berbeda bahwa transgender adalah haram, misalnya, tapi sepanjang mereka bisa memberikan penghormatan, mendukung hak hidup trans, tidak masalah buat saya.
Salah satu alasan kenapa saya terjun ke aktivisme, dan juga kenapa saya membagikan kisahku adalah karena saya berharap agama tidak lagi digunakan untuk membenci dan menindas orang lain.