Transgender, Anak Perempuan Kiyai Jadi Laki-laki, Bagaimana Ibadah dan Pandangan Islam

Ayahnya adalah kyai, seorang penceramah ulung yang dihormati. Namun Amar gelisah. Dia tidak merasa bahwa dirinya adalah perempuan.

Lebrina Uneputty
Rabu, 13 Oktober 2021 | 13:17 WIB
Transgender, Anak Perempuan Kiyai Jadi Laki-laki, Bagaimana Ibadah dan Pandangan Islam
Amar Alfikar. (BBC)

Sebelum transisi, saya melihat dan meyakini narasi agama yang selalu mengatakan bahwa Islam menolak transgender, bahwa transgender adalah ahli neraka, tidak berhak mendapatkan kasih Allah, bahkan tidak layak diperlakukan adil. Tansgender adalah mahkluk barat yang asing dan begitu najis.

Dulu, meskipun dibesarkan di pesantren, saya sering meragukan kehadiran Tuhan dan rahmat Allah karena saya tidak pernah merasa hangat dengan diri saya sendiri, orang tua, dan keluarga.

Dulu saya sangat marah kepada Allah, setiap salat saya merasa, salat saya ini untuk apa? Saya tidak menemukan ketenangan. Saya tidak merasa ada makna-makna di balik Islam saya.

Namun, saya merasa Tuhan sedemikian dekat ketika saya bertransisi. Penerimaan orang tua menuntun saya menyadari kebesaran Tuhan dalam kehidupan. Dari penerimaan Bapak dan Ibu, saya belajar lebih jauh tentang keislaman saya sendiri, ketuhanan saya sendiri.

Orang tua saya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang intelektual untuk menerima saya. Mereka tidak tahu gender itu apa, seksualitas itu apa, beliau cukup menggunakan, "Inilah takdir anak saya. Seperti inilah fitrah anak saya".

Itu yang saya pelajari dan membuat saya yakin. Tumbuh kepercayaan diri saya untuk tetap menyatakan diri sebagai muslim, sebagai trans, dan meneruskan hidup.

Setelah transisi, saya tidak pernah lagi menyakiti diri. Justru saya malah sangat hati-hati dengan tubuh saya.

Memang banyak yang menghujat, mengatakan "Kamu melanggar takdir Allah, kamu ahli neraka".

Kakak saya, Mas Muis, dulu paling menolak saya, orang yang paling tidak terima dengan kondisi yang saya alami sebagai seorang trans. Dia selalu mengatakan yang saya lakukan adalah salah dan dosa, "Ingat, kamu anak kyai, kita punya pesantren, jaga nama baik".

Tetapi saya menyadari itu adalah prosesnya menerima saya. Sebuah usaha panjang dan terbantu banyak oleh orang tua yang seringkali menasehati kakak saya. Ketika kakak saya berproses, saya juga berproses untuk berjuang juga.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini