Transgender, Anak Perempuan Kiyai Jadi Laki-laki, Bagaimana Ibadah dan Pandangan Islam

Ayahnya adalah kyai, seorang penceramah ulung yang dihormati. Namun Amar gelisah. Dia tidak merasa bahwa dirinya adalah perempuan.

Lebrina Uneputty
Rabu, 13 Oktober 2021 | 13:17 WIB
Transgender, Anak Perempuan Kiyai Jadi Laki-laki, Bagaimana Ibadah dan Pandangan Islam
Amar Alfikar. (BBC)

Tapi ketika saya bercerita kepada Ibu, beliau justru menjadi orang pertama dalam keluarga yang menerima. Kami mengobrol selama tiga jam. Itu obrolan terpanjang saya dan Ibu karena dulu kami begitu jauh.

"Ibu, saya bukan perempuan dan saya tidak bisa suka dengan laki-laki, saya tidak nyaman dengan pakaian perempuan dan saya tidak nyaman ditempatkan sebagai perempuan," kata saya waktu itu.

Ibu saya tentu bingung. "Maksudnya apa, kamu kan perempuan?" Saya menjawab, "Tapi saya tidak merasa perempuan".

Selama tiga jam percakapan kami, saya melihat Ibu mencoba memahami, mendengarkan. Meskipun ada kegelisahan, Ibu bertanya, dan mendengarkan lebih banyak jawaban.

Di tengah kebingungannya, Ibu menerima. Bagi saya, momen itu adalah titik balik. Saya yang tadinya sudah mengepak barang dan siap keluar dari rumah, jadi menahan diri karena Ibu juga mengatakan, "Jangan pernah tinggalkan keluarga ini, kamu tetap anak Ibu dan Bapak".

Ibu memeluk saya dan mengatakan, "Ibu semakin sayang sama kamu".

Amar Alfikar bersama ibunya (dok.pribadi/BBC)
Amar Alfikar bersama ibunya (dok.pribadi/BBC)

Proses perubahan saya berlangsung pelan-pelan, saya tidak pernah pergi dari rumah ini untuk tiba-tiba datang dengan diri yang berbeda. Saya membiasakan keluarga dan orang-orang melihat transisi saya, dari yang tadinya berjilbab jadi bersarung.

Mereka melihat momen-momen itu, detik detik, hari demi hari saya bertransisi, dan melihat saya sebagai manusia. Saya bagian dari keluarga ini dan bukan orang yang berbeda dari sebelumnya.

Tentu ada debat, penolakan, orang bertanya-tanya, orang nyinyir dan memaki, dan memperlakukan tidak baik. Saya terima itu sebagai bagian dari proses mereka. Saya percaya bahwa transisi bukan hanya tentang saya, tapi orang lain belajar bertransisi juga untuk menerima.

Awalnya itu beban berat. Sebelum melela atau cerita kepada orang tua, saya juga mempertanyakan ketuhanan dan keislaman saya, yang saya pikir tidak bisa menerima. Karena dari yang saya baca dan saya lihat pada waktu itu, stigmanya dan stereotipnya transgender itu bukan bagian dari Islam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini