Saya benci diri saya dan hidup saya.
Pada tahun 2012 saya berangkat haji dengan ibu saya. Saya hanya membatin, sepanjang haji itu doa saya adalah, "Ya Allah, tunjukkan siapa diri saya sebenarnya karena saya tidak mengenal diri saya dan itu menyakitkan".
Saya tidak bisa mencintai diri saya, karena saya tidak tahu diri saya siapa. Setelah saya pulang haji, kegelisahan ditempatkan sebagai perempuan itu justru semakin kuat.
Momennya adalah dorongan itu, bahwa saya tidak bisa terus menerus membohongi diri sendiri, saya tidak bisa terus menerus bertahan karena ini menyakitkan.
Mau tidak mau saya harus memilih kebahagiaan dan kemerdekaan sendiri. Harus sembunyi dan menjadi orang lain itu sangat menyiksa. Ini yang membuat saya merasa harus bercerita pada keluarga.
Awalnya saya mengira saya akan diusir, karena merasa keluarga besar tidak mungkin menerima saya.
Kakek saya mendirikan pesantren pada tahun 1973 dan diteruskan oleh orang tua saya. Sejak lahir saya tinggal di pesantren, meskipun tidak ikut nyantri di sini, tapi ikut mengaji pada orang tua saya. Kemudian saya menjalani pendidikan di MI, MTS, dan pesantren tahfizul Quran.
Jadi bisa dikatakan saya menghabiskan sebagian besar waktu hidup saya untuk belajar di lingkungan pesantren yang setiap hari mengaji Quran, mengaji kitab, berjamaah bersama dan ritual-ritual ibadah yang lain.
Di luar sana, berita yang muncul adalah para trans diusir ketika mereka mengaku pada keluarganya. Berita dan realitas itu yang membuat saya menduga bahwa saya juga pasti akan diusir.
Saya menduga bahwa orang tua saya akan menjadi pihak dalam keluarga yang akan paling membenci.