Saya juga tidak ingin seperti ini. Siapa yang ingin hidup susah, bergulat dengan dirinya sendiri, itu hal yang sangat berat. Kalau ditanya apakah saya ingin menjadi transpria, saya bisa jawab, saya tidak ingin hidup seperti ini.
Menjadi transpria itu bukan soal keinginan menjadi laki-laki, menjadi transpuan itu bukan ingin menjadi perempuan. Ini soal memilih kemerdekaan diri sendiri, memilih hidup merdeka dari kebencian terhadap diri sendiri.
Saya percaya Allah memberikan akal, fitrah manusia untuk berpikir, merenung dan melihat ke dalam diri kita sendiri.
Allah memberikan kita fitrah tubuh agar kita memperlakukannya dengan baik. Dan tubuh itu tidak sekadar yang terlihat secara fisik, tapi takdir fitrah juga wujud yang tidak terlihat, seperti pengalaman, pemikiran, kesadaran.
Sebagai trans, saya meyakini penuh bahwa apa yang saya jalani adalah bagian dari takdir yang Allah berikan. Kalau saya menyerah, tidak memperjuangkannya, maka justru saya yang melanggar takdir Allah itu, artinya saya tidak memperjuangkan kemerdekaan dan ketenangan batin saya sendiri.
Saya percaya bahwa takdir itu apa yang kita upayakan sendiri.
Saya telah mencoba menjalani hidup belasan tahun sebagai perempuan. Tapi jiwa ini tidak bisa dibohongi. Saya laki-laki. Saya tidak bisa merasa bahwa tubuh ini adalah tubuh perempuan. Tubuh saya, kesadaran saya, jiwa saya, adalah laki-laki.
Ada momen-momen di mana saya melakukan tindakan menyakiti diri sendiri, melukai diri dengan silet.
Karena stigma masyarakat kita dari dulu mengatakan bahwa orang yang berbeda kesadaran gender dan seksualitas adalah orang yang berpenyakit, maka mau tidak mau itu terinternalisasi dalam diri saya.
Itu juga yang mungkin membuat saya menyakiti diri sendiri, membenci diri sendiri, dan merasa saya tidak layak dihargai karena saya berpenyakit.