SuaraBekaci.id - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mencabut izin operasional 23 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) se-Indonesia. Satu di antaranya adalah STIE Tribuana Bekasi.
Kampus yang berlokasi di Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi itu terindikasi melakukan empat pelanggaran berat antara lain tidak sesuai dengan standar perguruan tinggi, jual beli ijazah, pembelajaran fiktif, dan penggelapan beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK-K).
Direktur Ditjen Diktiristek Kemendikbud, Lukman mengatakan, dari empat pelanggaran yang ditemukan di STIE Tribuana, penyelewengan beasiswa KIP-K menjadi kasus yang paling mendominasi.
Bersumber dari laman Kemendikbud.go.id, penerima KIP Kuliah diberikan berbagai keunggulan seperti, pembebasan biaya pendaftaran seleksi masuk perguruan tinggi, pembebasan biaya kuliah dan memperoleh bantuan biaya hidup.
Baca Juga:Kampus Ditutup, Ribuan Mahasiswa STIE Tribuana Bekasi Lontang Lantung, Kemendikbudristek Buka Suara
“Mahasiswa seharusnya dapat hak-haknya ya, hak living cost, biaya hidup itu kan diserahkan mahasiswa, ini masih ditahan oleh pihak kampus tidak diserahkan kepada mahasiwa,” kata Lukman.
Atas segala temuan pelanggaran tersebut, Kemendikbudristek menjatuhi hukuman administratif berat kepada STIE Tribuana Bekasi. Hal itu tertuang dalam surat Kemendikbudristek No. 0319/E/DT.03.09/2023, tanggal 3 Mei 2023.
“STIE Tribuana telah dikenakan sanksi administratif berat berupa pencabutan izin pendirian perguruan tinggi,” bunyi surat itu.
Nasib Mahasiswa Terkatung-katung
Senin 5 Juni 2023, siang sekitar pukul 11:00 WIB, keheningan gedung bercat serba kuning berlantai tiga tiba-tiba pecah. Gedung yang biasanya dijadikan tempat perkuliahan, hari itu digeruduk oleh mahasiwanya sendiri.
Baca Juga:Izin STIE Tribuana Bekasi Dicabut, Kemendikbudristek: Jual Beli Ijazah hingga Penggelapan Beasiswa
Para mahasiswa ini datang ke kampus bukan untuk berkuliah, mereka datang untuk menuntut kejelasan nasib perkuliahan mereka setelah turun surat dari pemerintah bahwa izin STIE Tribuana dicabut.
Bak petir di siang bolong, para mahasiwa ini kalut. Mereka cemas, sedih dan marah bertahun menuntut ilmu di bangku kuliah justru berakhir dengan fakta kampus ditutup karena terindikasi melakukan banyak pelanggaran.
Kehadiran para mahasiswa ini menuntut pihak rektorat segera mengeluarkan surat rekomendasi agar mereka bisa kuliah di tempat lain. Mereka tak mau cita-cita meraih gelar sarjana harus pupus karena kampus tutup.
Siang itu, para mahasiwa yang mayoritas sudah menempuh perkuliahan di semester akhir itu akhirnya bertemu pihak rektorat. Satu jam lamanya para mahasiwa semester 7-8 ini bertemu dengan pihak rektorat.
“Kami mahasiswa STIE Tribuana Kota Bekasi ingin menanyakan perihal nasib kita, karena yang kita tau bahwasanya kampus kita itu ditutup sejak 3 Mei 2023. SK nya pun sudah dikeluarkan oleh Dikti,” kata salah satu mahasiswa, Budi Herianto kepada awak media termasuk SuaraBekaci.id usai bertemu rektorat.
Nahas, alih-alih diberikan surat pindah, Budi mengaku pihak kampus malah mempersulit mahasiswa dengan memberikan syarat tertentu.
Mulai dari diharuskan mengundurkan diri sebagai penerima beasiswa KIP-K hingga diminta mengembalikan beasiswa yayasan sebesar Rp3 juta per semester.
“Jadi kita mau minta surat pindah untuk pindah ke kampus lain. Tapi pihak kampus selalu menunda-nunda dan mempersulit. Alasannya yang KIP-K harus menunjukkan surat pengunduran diri dan yang beasiswa harus mengembalikan biaya ke yayasan,” ungkap Budi.
Budi menjelaskan bahwa mayoritas mahasiswa yang menempuh pendidikan di STIE Tribuana Bekasi, namanya memang tercatat sebagai penerima beasiswa, baik itu beasiswa dari yayasan atau internal kampus maupun beasiswa dari pemerintah yaitu KIP-K.
Kabar adanya sejumlah persyaratan untuk pindah ke perguruan tinggi lain membuat Budi dan teman-temannya kecewa. Para mahasiswa ini menanggung beban yang harusnya jadi tanggung jawab kampus.
Derita Mahasiswa Akhir, Kampus Tutup Gagal Wisuda
Maret 2023, Budi berbahagia. Ia dinyatakan lulus sidang skripsi, gelar sarjana ekonomi akan segera didapatnya. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, peribahasa itu bisa gambarkan nasib Budi setelah ia dinyatakan lulus sidang skripsi.
Harusnya saat ini ia mempersiapkan diri untuk wisuda, namun justru surat dibuat kalut dengan fakta kampusnya ditutup pemerintah.
“Kita udah sidang kemarin maret 2023 udah dinyatakan lulus dan minta surat kelulusan,” keluh mahasiswa manajemen di STIE Tribuana Bekasi.
Tak hanya Budi, Bunga (nama samaran) yang juga mahasiswa tingkat akhir di STIE Tribuana merasakan hal sama.
Bunga bercerita awal mula ia berkuliah di STIE Tribuana Bekasi. Rekomendasi dari teman yang membawa Bunga akhirnya putuskan berkuliah di kampus ini.
Empat tahun silam, ia baru saja lulus dari Madrasah Aliyah (MA). Bunga mendapat pamflet yang berisikan informasi penerimaan mahasiswa baru STIE Tribuana Bekasi.
Pamflet itu memuat informasi perihal beasiswa 100%, gratis biaya kuliah hingga lulus kuliah. Siapa yang tak tertarik dengan rayuan seperti ini, apalagi untuk Bunga yang berasal dari keluarga ekonomi tak mampu.
Narasi ala marketing iklan perumahan di dalam pamflet itu yang akhirnya membuat Bunga daftarkan diri sebagai mahasiwi STIE Tribuana Bekasi. Bunga mengincar program beasiswa yang ditawarkan kampus, apalagi sejak Madrasah Aliyah, ia selalu menerima program Bidikmisi atau yang saat ini bertransformasi menjadi KIP.
“Aku anak terakhir, aku itu terlahir dari orang tua yang ayahku bekerjanya sebagai buruh serabutan, dan ibuku ibu rumah tangga,” jelas Bunga.
Anak terakhir yang terlahir dari keluarga ekonomi tak mampu ini berhasrat kuat untuk bisa meraih pendidkan setinggi-tingginya. Bagi Bunga, harusnya dengan beasiwa itu, sang ayah yang hanya jadi buruh serabutan tak pusing dengan biaya kuliah.
Sang ayah per bulan hanya mampu mendapatkan uang Rp1 juta, itu pun tidak pasti. Uang sekecil itu tentu tak akan mampu antarakan Bunga bisa meraih pendidikan lebih tinggi.
“Bayangan orang kampung itu kuliah itu mahal, pada nyatanya STIE Tribuana memberikan beasiswa jadi aku masuk ke STIE Tribuana,” tambahnya.
Meski tak mampu secara biaya, ia bertekad memantapkan diri secara fisik dan mental bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.
Dengan nada bergetar, Bunga menceritakan bahwa saat pertama kali mengetahui ia bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Orang tuanya begitu bangga anaknya bisa berkuliah.
“Alhamdulillah, orang melihat keluargaku sudah tidak dipandang sebelah mata, bahwasanya anak terlahir dari seorang buruh bisa meneruskan pendidikan,”
Hari demi hari perjalanan kuliah ia lalui tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Meski harus diakui, selama 8 semester duduk di bangku kuliah, dirinya menyadari bahwa ada haknya sebagai penerima beasiswa telah dirampas oleh pihak kampus.
“Di STIE Tribuana tidak terpenuhi hak yang diberikan oleh pemerintah, karena kita diam dan tidak hiraukan, ya kami nenjalankan secara normal saja kuliah menjalankan prosedur,” cerita Bunga.
Sekitar bulan Februari 2023 Bunga menjalani sidang skripsi, dan hasilnya ia dinyatakan lulus. Pada saat itu, dirinya hanya tinggal menunggu ijazah dan wisuda di bulan Mei 2023.
Sampai memasuki bulai Mei 2023, kabar baik belum terdengar. Alih-alih diberikan kepastian untuk wisuda,
Bunga dan teman-temanya malah dikejutkan oleh kabar bahwa Kemendikbudristek telah mencabut izin operasional STIE Tribuana.
Kemudian yang lebih mengejutkan, penyelewengan hak mahasiswa penerima beasiswa yang selama ini dihiraukan oleh Bunga dan teman-temannya justru membawa petaka untuk mereka. Sebab, hal itu yang menjadi salah satu indikator kampusnya ditutup.
Bunga mengaku kabar ditutupnya STIE Tribuana membuat ia dan teman-temannya hancur. Mereka khawatir waktu yang dihabiskan selama bertahun-tahun seakan sia-sia. Sebab, ijazah yang ditungu-tunggu belum juga terbit.
Bunga dan teman-temannya telah melakukan komunikasi ke pihak kampus, namun pihak STIE Tribuana malah meminta mahasiswa untuk bersabar dalam menunggu kepastian.
Menyoroti nasib ribuan mahasiswa STIE Tribuana Bekasi, Direktur Ditjen Diktiristek Kemendikbud, Lukman mengatakan mahasiswa yang menjadi korban tutupnya kampus akan menghadapi dua kemungkinan.
Pertama, mahasiswa dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi lain, dengan catatan pembelajaran yang telah ditempuh sesuai dengan ketentuan perguruan tinggi.
Namun, jika pembelajaran yang ditempuh tidak sesuai dengan ketentuan perguruan tinggi, maka mahasiswa tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi lain.
Menurut Lukman, jika kondisi seperti itu terjadi maka pihak kampus yang seharusnya bertanggung jawab penuh untuk mengatasi hal itu.
“Kepindahan itu harus sepenuhnya menjadi tanggung jawab kampus,” ucap Lukman.
Tetapi, jika pihak kampus tidak bertanggung jawab atas perpindahan mahasiswa. Lukman menyebut mahasiswa dapat menuntut pihak kampus bahkan sampai ke jalur pidana.
“Mahasiswa bisa menuntut pidana penyelenggara pendidikan, karena semua terkait kesalahan dan lainnya itu harus menjadi tanggung jawabnya dari badan penyelenggara,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala STIE Tribuana Kota Bekasi, Edison Hamid, enggan memberikan komentar terkait kasus tersebut.
“No comment,” kata Edison singkat dan langsung berlalu meninggalkan awak media, Senin (5/6).
Kredibilitas Perguruan Tinggi di Bekasi Tercoreng
Pengamat Pendidikan sekaligus akademisi Universitas Islam 45 Bekasi, Imam Kobul Yahya, mendukung penuh tindakan Kemedikbudristek Dikti menarik izin operasional PTS yang terbukti melanggar ketentuan perguruan tinggi, terutama mereka yang melakukan tindakan jual beli ijazah.
Dirinya dengan tegas mengatakan, perguruan tinggi bukanlah pasar yang sepatutnya dijadikan tempat untuk transaksi jual beli.
“Saya sering bilang, kampus itu tempatnya intelektual, kalau tempat jual beli ya di pasar bukan di kampus,” kata Imam kepada SuaraBekaci.id, Rabu (7/6).
Dirinya menyebut kasus ditutupnya STIE Tribuana akan berdampak buruk pada dunia pendidikan khususnya di Kota Bekasi.
Perguruan tinggi di Kota Bekasi akan mengalami penurunan kredibilitas di mata masyarakat. Terutama bagi mereka yang berasal dari luar daerah.
“Orang berpikir ulang ‘waduh nanti seperti ini, manti ijazah saya seperti apa’ kan gitu, carut marut,” ucapnya.
Terlebih menurut Imam, kasus pencabutan izin PTS oleh Kemendikbudristek Dikti bukanlah yang pertama terjadi di Kota Bekasi.
Imam mencatat, beberapa waktu lalu hal serupa pernah terjadi di STIE Adhy Niaga Bekasi.
Imam mengatakan, praktek jual beli ijazah sudah lama terjadi. Sementara, tindakan yang bisa dilakukan Kemendikbudristek Dikti hanyalah sebatas mencabut izin operasional PTS yang bermasalah.
Sedangkan menurutnya, untuk memberikan efek jera pada pelaku yang mendirikan PTS bodong semacam STIE Tribuana, perlu dilakukannya jalur hukum.
Dalam hal ini, Imam mengatakan mahasiswa sebagai korban yang bisa mengambil langkah melaporkan kampus ke pihak kepolisian.
“Sebetulnya perlu (jalur hukum), dibuat efek jera terhadap perguruan tinggi yang masih main-main, menurut saya,” ujarnya.
Imam menyebut, sudah sepatutnya mahasiswa lebih bijak jika menemukan kesalahan-kesalahan semacam itu. Mereka harus berani menyuarakan kebenaran, apalagi hal itu menyangkut diri mereka sendiri.
“Biasanya mereka kalau ada kesalahan pemerintah aja demo, masa yang langsung ke dirinya sendiri dia gak berani, dia harus berani mengungkapkan itu dan berani melaporkan itu,” ungkapnya.
*SuaraBekaci.id gunakan nama samaran karena dugaan intervensi kepada sejumlah mahasiswa yang menuntut kejelasan nasibnya.
Kontributor: Mae Harsa