SuaraBekaci.id - Nama Entong Tolo terdengar cukup asing di telinga sebagian masyarakat Bekasi. Padahal, ia sosok jawara legendaris yang dikenal dengan jiwa sosial yang tinggi.
Entong Tolo dikenal sebagai seorang bandit yang sangat dicintai masyarakat Bekasi. Ia rela bertaru nyawa merampok tuan tanah dan hasilnya dibagikan kepada warga pribumi yang menderita karena penjajah dan tuan tanah.
Kisahnya bermula pada masa kolonial Belanda atau sekitar akhir abad 19. Saat itu kondisi Batavia atau Jakarta dan sekitarnya termasuk Bekasi sedang dalam kondisi ketimpangan terutama pada sektor ekonomi.
Di mana pengusaha-pengusaha Belanda dan Cina menjadi penguasa atas tanah di Batavia dan sekitarnya. Selain menguasai tanah, para penguasaha inni juga eksploitasi penduduk pribumi.
Baca Juga:Barisan Wanita Pelacur dan Maling, Strategi Gila Indonesia Lemahkan Penjajah di Jogja
Kondisi ini membuat penduduk pribumi menderita. Tanah dikuasai para penguasaha, sementara tenaga mereka dikuras para tuanh tanah.
“Di Jabodetabek etnis Cina menguasai sebagian besar tanah di Bekasi dan Tanggerang. Kalau Eropa lebih cenderung di Bogor. Kalau Jakarta atau Batavia itu campur,” kata Sejarawan Ali Anwar, saat dihubungi SuaraBekaci.id, Selasa (8/8).
Atas dasar itu, muncul sejumlah jawara-jawara di sejumlah daerah, termasuk Bekasi, salah satunya bernama Entong Tolo. Jika kita mengenal sosok Si Pitung di Jakarta, Entong Tolo ibarat si Pitung dari Bekasi.
Pedagang yang Tersakiti
Menurut Ali, sampai saat ini belum diketahui apakah Entong Tolo itu merupakan nama asli atau hanya nama panggung saja. Sebab, sampai saat ini belum ditemukan arsip-arsip atau dokumen lainnya yang mecatat jelas biodata terkait jawara asal Bekasi itu.
Baca Juga:Cuma Ada di Indonesia, Asal Mula Gelar Haji Ternyata Akal-akalan Penjajah Belanda
“Tapi yang jelas di arsip-arsip maupun di koran itu disebutnya Entong Tolo saja,” ujarnya.
Ali mengatakan sebelum dikenal, Entong Tolo hanyalah pedagang biasa. Kekecewaannya terhadap pemerintahan Hindia Belanda membuatnya memutuskan menjadi seorang perampok saat usianya sekitar 30 tahun.
Ia merampok selama kurang lebih 20 tahun dari mulai akhir abad 19 sampai awal abad 20 atau sekitar tahun 1890-1910. Ia melancarkan aksinya tidak sendirian, namun juga dibantu beberapa anak buahnya.
Selama menjadi perampok, Entong Tolo dan anak buahnya kerap menjadi buronan aparat keamanan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan mereka beberapa kali diamankan, namun pada akhirnya tidak pernah benar-benar dipenjara.
“Saat anak buahnya melakukan perampokan itu kemudian di tangkap dan disidang dan selalu tidak terbukti (Entong Tolo merampok), karena memang dia tidak melakukan perampokan yang melakukan perampokan anak buahnya, dan anak buahnya itu bisa tidak mengakui bahwa itu pelakunya Entong Tolo, jadi mereka pasang badan,” jelas Ali.
Sosoknya yang begitu dicintai masyarakat juga tergambar saat Entong Tolo dalam kejaran aparat keamanan. Mereka selalu bungkam saat ditanyai keberadaan Entong Tolo.
Bahkan tak hanya Entong Tolo, ke lima istri dan anak-anak Robin Hood asal Bekasi itu juga kerap disembunyikan warga sekitar.
“Jadi kalau dia sedang dikejar oleh tentara Belanda, dia di sembunyikan oleh penduduk,” ucapnya.
Entong Tolo Ditangkap di Depok
Entong Tolo dan anak buahnya berhasil membuat kondisi di Bekasi saat itu kacau. Membuat pemerintah Hindia Belanda dan para tuan tanah menggila keresahan.
Hingga akhirnya, sekitar tahun 1908 Entong Tolo berhasil ditangkap oleh tuan tanah di Sawangan (Depok). Ia kemudian diadili di Meester Cornelis yang sekarang dikenal Jatinegara.
Pada sidang itu pemerintah Hindia Belanda lagi-lagi tak bisa membuktikan bahwa Entong Tolo sosok perampok yang selama ini meresahkan tuan tanah.
Kendati demikian, meski secara hukum Entong Tolo tidak terbukti melakukan kejahatan, namun secara politis ia diyakini sebagai biang kerok dari kekacauan yang ada pada saat itu.
Sehingga puncaknya, sekitar tahun 1910 Entong Tolo diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Keputusan itu berdasarkan Pasal 47 Regerings Reglement dimana itu merupakan hak exorbitante rechten ratu Hindia Belanda pada masa itu.
“Jadi pemerintah atau Ratu Hindia Belanda punya hak disebut exorbitante rechten artinya untuk orang-orang tidak terbukti secara hukum tapi secara politis dia terbukti melakukan kekacauan itu dikenakan hak itu dengan hukuman di buang,” jelas Ali.
Selama diasingkan hidup Entong Tolo dijamin oleh pemerintah. Dia diberikan tempat tinggal, lahan yang luas untuknya berkebun dan bertani, serta uang bulanan sebesar 10 gulden untuk biaya hidupnya.
Sayangnya, setelah diasingkan kisahnya tak lagi diketahui. Ali Anwar mengatakan informasi tentang Entong Tolo simpamg siur terdengar. Ada yang menyebut jawara Bekasi itu kembali ke kampung halamannya di Pondok Gede, kemudian makamnya ditemukan di daerah Jakarta Timur.
“Saya belum ke sana (makam Entong Tolo) pengen saya ke sana pengen ziarah. Makanya saya harus membuktikan itu, jadi saya harus datang ke sana,” tandasnya.
Sebagai informasi, kisah Entong Tolo juga dimuat di beberapa buku karya Ali Anwar yang berjudul Sejarah Bekasi tahun 1992, KH Noer Alie tahun 2006, dan Revolusi Bekasi tahun 2016.
Selain itu, sejarah mengenai Entong Tolo ini juga bisa dilihat di Museum Gedung Juang, Jalan Suktan Hasanudin, Mekarsari, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Kontributor: Mae Harsa