Tidak adak penolakan dari warga asli dengan masuknya etnis Tionghoa.

Menurut Ali, pada saat itu tidak terjadi penolakan dari warga asli Bekasi kepada etnis Tionghoa. Dikarenakan etnis Tionghoa pada saat itu bukan berasal dari orang yang memiliki harta dan etnis Tionghoa hanya berniat untuk berdagang.
"Cuma memang dicurigai masuk ke Bekasi karena bagaimanapun mereka (etnis Tionghoa) orang yang diburu, orang yang di kejar (oleh VOC)," kata Ali.
Akan tetapi, etnis Tionghoa berhasil menyesuaikan bahasa dan kehidupan sehingga dapat diterima di Bekasi.
Baca Juga:Ridwan Kamil Sebut Ada 492 Orang Probable Omicron yang Tersebar di Bogor, Depok dan Bekasi
Masyarakat yang berjualan di Pasar Bekasi berasal dari banyak etnis dan latar belakang. Masing-masing mereka mendirikan rumah ibadahnya, termasuk etnis Tionhoa.
Klenteng Hok Lay Kiong diperkirakan dibangun setelah etnis Tionghoa masuk dan berbaur dengan warga pribumi.
"(pembangunan Klenteng) dikaitkan dengan mulai bermigrasi nya orang-orang Tionghoa dari Batavia yang melarikan diri ke Bekasi dan mereka mendirikan rumah ibadah," jelasnya.
Kekinian, budaya yang dibawa etnis Tionghoa sudah dapat diterima oleh masyarakan pribumi sehingga terjadi pencampuran antar budaya menjadi budaya baru.
Seperti panggilan tante dalam bahasa betawi disebut 'Encing' sedangkan etnis Tionghoa memanggil tante dengan sebutan 'Encim'.
"Karena memang sudah terjadi akulturasi, asimilasi, kawin silang dan lain sebagainya antara orang-orang betawi, cina dan yang sekitarnya disini," tambah Ronny Hermawan.