Kendati demikian, secara sadar Ria mengatakan bahwa ia pun melakukan berbagai upaya guna meminimalisir dampak buruk dari kualitas udara Bekasi yang tidak sehat ini.
“Karena konsekuensi kerjaan yg bikin aku harus beraktivitas d luar ruangan, aku selalu pakai masker kalau keluar ruangan, sebisa mungkin pakai public transportation untuk mobilitas, dan lebih aware sama jejak emisi karbon yg aku pakai, seperti sesederhana sedikit lebih bijak pakai listrik,” jelasnya.
“Sama sering-sering meditasi dan istighfar dengan kondisi yg makin gak membaik tiap harinya biar gak stres,” ujar Ria sambil tertawa.
Menurut Ria, kondisi udara yang buruk bukanlah fenomena baru melainkan sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Namun memang baru ini lagi menjadi pusat perhatian.
Baca Juga:Ragukan Indeks Kualitas Udara Versi IQAir, KLHK: Standarnya Berbeda dengan Indonesia
Oleh karenanya, Ria berharap saat momentum di mana pusat perhatian sedang tertuju pada persoalan kualitas udara yang buruk ini, baik Pemerintah dan masyarakat bisa bergotong royong memperbaiki kondisi tersebut.
“Mungkin buat masyarakat sendiri mulai merubah gaya hidup sebisa mungkin jika memungkinkan beralih dari transportasi probadi ke transportasi umum. Dan sebaliknya pemerintah juga harus kasih fasilitas yang proper,” ujarnya.
“Jadi gimana bisa minta masyarakat menggunakan transportasi umum kalau transportasi umumnya gak ada,” sambungnya.
Menurutnya, peran pemerintah dalam membuat transportasi umum yang memadai sebenarnya mampu menumbuhkan gairah masyarakat menggunakan transportasi umum.
“Aku sebagai pengguna transportasi umum merasa sebenernya kalau difasilitasin, warga Bekasi mau banget ko pakai transportasi umum. Terbukti dari membludaknya jalur busway dan kereta dari arah Jakarta-Bekasi banyak banget,” tandasnya.
Baca Juga:Kerek Kualitas Udara Jakarta, Pemprov DKI Kaji Efektivitas Sistem 4 in 1
Selain Ria, hal serupa juga dirasakan oleh Padin (22), pekerjaannya sebagai pengemudi ojek online membuatnya setiap hari harus berhadapan dengan polusi udara.