"Saya kan tadinya di depan pinggir jalan, saya beli saya bangun (rumah dan warung sate)," ucapnya.
Di area warung sate dan tongseng milik Ngadenin, terdapat pula sebuah warung ayam bakar milik tetangganya. Namun seiring berjalannya waktu, tetangga Ngadenin itu menjual lahan lapak ayam bakar ke pengusaha hotel.
Sejak itu, Ngadenin juga dipaksa untuk menjual lapak usaha beserta rumah ke pengusaha hotel. Paksaan itu diiringi juga dengan ancaman yang akhirnya membuat Ngadenin merasa takut.
Baca Juga:Viral! Ngaku Jadi Intel, Bandit di Bekasi Bawa Kabur Motor Pedagang Kangkung
"Saya ditakut-takutin kalau enggak mau jual ke dia (pemilik hotel), nanti saya ditakut-takuti akan dikurung, ditutup (akses jalan) akhirnya saya nyerah," ujarnya.
Akhirnya, Ngadenin terpaksa menjual rumah dan lapak usahanya ke pihak hotel meski dengan harga yang sangat rendah menurutnya. Sebab, hasil jual lahan itu tak cukup untuk membeli lahan atau rumah dengan luas yang sama.
"Ditawar harganya sangat sangat rendah, tidak sesuai kalau buat beli rumah pengganti enggak dapet, setengah saja enggak dapat," kata dia.
Hingga akhirnya Ngadenin terpaksa pindah ke sebuah rumah yang berada tak jauh dari lokasi awal dirinya tinggal.
Mulanya, sang pemilik rumah sempat berkata kepada Ngadenin bahwa akses jalan rumah itu merupakan sebuah tanah waqaf.
Baca Juga:Persikabo 1973 Harus Hijrah ke Bekasi, Ini Penyebabnya
Namun, setelah sekitar 10 tahun ia menempati rumah itu ternyata akses jalan itu dimiliki pihak hotel.
"Saya beli di sini awalnya ada jalan, katanya sudah diwakafkan, tapi akhirnya dijual semua ke hotel sama jalannya saya enggak tahu," ucapnya.
Sejak saat itu, rumah Ngadenin dan satu orang tetangganya tertutup bangunan hotel. Akses jalan yang membutuhkan usaha ekstra itu membuat dirinya dan sang istri lelah jika harus bolak balik keluar rumah.
Alhasil, Ngadenin dan sang istri kini tinggal di Warung Sate Solo Pak Dadi di Jalan Anugerah Raya Jatiwaringin yang letaknya sekitar 100 meter dari rumahnya.
Kontributor: Mae Harsa