SuaraBekaci.id - Presiden FIFA Gianni Infantino menyampaikan pesan politik terkait perang Rusia-Ukraina. Pria berkepala plontos itu meminta ada genjata senjata selama perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar.
Permintaan Gianni Infantino ini disampaikannya saat menghadiri KTT G-20 Bali. Menurut Infantino, pesannya ini berlandaskan rasa kemanusiaan.
"Permohonan saya kepada Anda semua, untuk memikirkan gencatan senjata sementara selama satu bulan selama Piala Dunia atau setidaknya penerapan beberapa koridor kemanusiaan atau apa pun yang dapat mengarah pada dimulainya dialog sebagai langkah pertama menuju perdamaian," ujarnya mengutip dari Suara.com
Pernyataan dari Presiden FIFA ini terkesan cerminkan sikap muka dua organisasi sepak bola dunia tersebut. Pasalnya, ia mengatakan bahwa perhelatan Piala Dunia 2022 jangan dijadikan sebagai ajang pertarungan politik dan ideologi.
Baca Juga:Profil 3 Wasit Wanita di Piala Dunia Qatar 2022, Punya Prestasi Mentereng
Ditegaskan oleh pria asal Italia tersebut bahwa saat ini lebih baik fokus pada sepak bola dan Piala Dunia 2022 Qatar.
"Kami tahu sepak bola tidak hidup di ruang hampa dan banyak tantangan serta kesulitan bersifat politik di seluruh dunia," ucapnya seperti dilansir dari Sky Sports satu pekan yang lalu.
"Tapi tolong jangan biarkan sepak bola terseret ke dalam setiap pertarungan ideologis atau politik yang ada," tegasnya.
Pernyataan Infantino ini dikirim di saat meningkatnya tekanan dari para pemain untuk menjadikan pentas Piala Dunia 2022 sebagai ajang menyampaikan aspirasi politik.
Beberapa hari sebelum kick off Piala Dunia 2022, tekanan kepada tuan rumah Qatar dan FIFA terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) para pekerja pembangunan stadion.
Baca Juga:Pamer Penghasilan di G20, Presiden FIFA: GDP Global Sepak Bola Hampir Rp4,6 Triliun
FIFA bahkan melarang Timnas Denmark menggunakan jersey khusus dengan pesan Hak Asasi Manusia selama perhelatan Piala Dunia 2022.
Jersey ini awalnya sengaja dibuat oleh Timnas Denmark untuk menyampaikan pesan politik kepada tuan rumah Qatar. FIFA pun buru-buru kirim surat kepada PSSI-nya Denmark.
Menurut Jakob Jensen, ketum PSSI-nya Denmark bahwa pihaknya mendapat surat dari FIFA yang isinya melarang mereka menggunakan pesan kemanusian di jersey dan seragam latihan mereka.
Dikatakan Jensen, pelarangan itu disebut FIFA karena alasan teknis. Menurut Jensen apa yang dilakukan Denmark bersifat universal dan bukan sebagai seruan politik. "Itu sesuatu yang semua orang bisa dukung," ungkapnya.
Sejak Awal FIFA Kerap Muka Dua
Sikap yang ditunjukkan oleh Infantino sebernya tidak aneh. Langkah Infantino sebenarnya hanya melanjutkan sikap dari para pemimpin FIFA sebelumnya.
FIFA sejak era João Havelange kerap terjebak dengan urusan politik atau bukan politik. Politik versi FIFA berbeda dengan kebanyakan orang.
João Havelange misalnya sempat menyerukan bahwa FIFA anti dengan politik apartheid yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Kampanye anti apartheid yang dilakukan João Havelange tak murni karena kepedulian. João Havelange melalukan itu agar ia bisa menang sebagai Presiden FIFA melawan wakil Inggris, Sir Stanley Rous.
Havelange seperti dilihat dari serial Netflix "FIFA Undercoverd" memanfaatkan ucapan blunder Rous soal para pesepak bola asal Afrika.
Dalam satu wawanara dengan media Inggris, Rous sempat menyebut bahwa cara bermain pesepak bola Afrika berbeda dengan pemain Eropa. Blunder ini yang digunakan Havelange unutk menarik suara dari federasi di Afrika.
Sukses menjadi Presiden FIFA, Havelange kemudian berbalik 180 derajat untuk urusan kemanusiaan. Ia tak peduli saat Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978.
Penunjukkan Argentina sebagai tuan rumah ditentang banyak pihak karena saat itu tim Tango dipimpin junta militer Jenderal Jorge Rafael Videla. Ratusan orang disebut menjadi korban politik Videla.
Di serial dokumenter Netflix, Piala Dunia edisi 1978 dianggap merupakan Sport Washing yang dilakukan Jorge Rafael Videla dibantu oleh João Havelange.
Edisi Piala Dunia 1978 yang berlangsung di Argentina disamakan dengan Olimpiade 1936 yang diselenggarakan oleh Adolf Hitler bersama Nazi di Jerman.