SuaraBekaci.id - Siapa yang orang Indonesia yang tak tahu grup lawak Warkop DKI? Waktu kecil, setiap libur hari raya Idul Fitri atau Natal, sejumlah televisi swasta selalu memutar film-film Warkop DKI.
Meski sering diputar berulang-ulang, masyarakat tetap tertawa saat film warkop DKI ada di layar kaca.
Berawal dari nama Warkop Prambros, kelompok yang dipelopori oleh Rudy Badil, Nanu, dan Kasino Hadiwibowo ini menjelma menjadi Warkop DKI, grup komedian terpelajar dari kampus.
Komedian terpelajar memang layak disematkan untuk personel Warkop DKI. Indro, personel yang tersisa di grup Warkop pada kanal Youtube Vindes menceritakan bagaimana ia dan Nanu sempat kena damprat Wahjoe Sardono alias Dono dan Kasino masalah kuliah.
Baca Juga:Box Office Suara: Best Scene Warkop DKI Reborn Jangkrik Boss (Part 2)
"Jadi, kalo gua mau ujian, mereka (Dono-Kasino) 'kan tau jadwal (ujian) gua, (adegan) gua di film sedikit aja," cerita Indro.
Warkop DKI menjadi grup komedi yang menginterpretasikan perubahan politik era Orde Lama ke Orde Baru dengan satir komedi.
Awalnya, Rudy Badil, Nanu, dan Kasino Hadiwibowo kerap tampil di pentas seni Universitas Indonesia (UI). Kehadiran mereka kemudian menarik produser Radio Prambors, Temmy Lesanpura.
Temmy kemudian mengajak ketiganya untuk siaran di Radio Prambors. Mereka pun mulai resmi siara pada 24 September 1973 dan membentuk grup bernama Warkop Prambors.
Kehadiran grup Warkop Prambors seperti angin baru di kehidupan sosial masyrakta Indonesia kala itu. Maklum saja, kehadiran mereka di tengah kondisi politik yang memanas.
Sebut saja saat di Indonesia ada Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari 1974). Lalu muncul peraturan soal Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Baca Juga:Film Lama Warkop DKI Tayang di TV, Indro Warkop Curhat Tak Pernah Dapat Royalti
Masih berstatus sebagai mahasiswa yang kerap dianggap agent of change, para personel Warkop Prambros tetap menyampaikan kritik dibungkus dengan satir komedi.
Lewat microphone siaran radio, mereka cuap-cuap membicarakan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat itu. Sebelum komika Bintang Emon atau Pandji Pragiwaksono, personel Warkop Prambors adalah pioner membalut kritik dengan komedi.
Mengutip dari artikel akun ejharawk di Tumblr, lewat ruang siaran bak akuarium, Rudy Badil, Kasino dan Nanu memulai siaran perdananya di Radio Prambors.
Awalnya mereka membawakan acara dengan nama Omamat, singkatan dari Obrolan Malam Jumat. Acara ini mengudara tial malam Jumat tentu saja sekitar pukul 21:00 hingga 23:00 WIB.
Topik pembahasannya, seputar pengalaman selama menjadi mahasiswa, obrolan ngamur khas mahasiswa diiringi dengan lagu gubahan sendiri dengan lirik sedikit cabul dan menyentil.
Radio Prambros kala itu masih mengudara di frekuensi AM, tepatnya di AM 666 Khz. Pendengar mereka pun awalnya kalangan terbatas, dari mahasiswa, aktivis hingga para pecinta alam.
Lambat laun, Omamat jadi sangat populer tidak hanya di kalangan mahasiswa UI. Baru pada 1974, acara Omamat berganti menjadi Warung Kopi.
Obrolan di Warung Kopi tidak sekedar cerita seram, namun juga ke masalah sosial dan politik negeri ini. Nama Warung Kopi sendiri diusulkan oleh Rudy Badil.
Nama itu kemudian disetujui semua personel karena dianggap sebagai tempat paling demokratis di negeri ini. Mau bicara apa pun bebas.
Penamaan Warung Kopi juga menjadi sindiran halus di fenomena sosial Indonesia saat itu. Hanya di warung Kopi, warga di akar rumput bebas berbicara apapun, kondisi yang tak bisa dilakukan di ruang publik era Orde Baru.
Satu tahun setelah Warung Kopi mengudara di Radio Prambors, Wahyu Sardono alis Dono yang berstatus mahasiswa Sosiologi FISIP UI ikut meramaikan.
Terakhir pada 1976, Indrojoyo Kusumonegoro alias Indro bergabung. Formasi Warkop diawal berdiri pun lengkap. Indro bergabung berstatus akamsi alias anak kampung sini. Hal ini lantaran rumah Indro dan kampusnya, Universitas Pancasila tak jauh dari Radio Prambors di Jalan Prambanan.
Meski begitu, kata Indro saat masuk ke Warkop, ia harus ikut audisi.
“Yang gue ingat, waktu itu gue disuruh menyanyikan lagu ‘Melati’ dari Grace Simon, tapi harus dengan langgam Jawa. Edan kan? Kurang kerjaan banget tuh si Kasino," cerita Kasino.
Saat formasi mereka lengkap ini, semua personel memainkan perannya masing-masing yang khas dan mengocok perut pendengarnya.
Dono misalnya menjadi mas Slamet, pria asal Solo yang senang berfilosofi meski kerap keliru. Lalu Rudy Badil menjadi Bang Holil, pemilil warkop. Kasino memanikan banyak peran, mulai dari Koh Acong sebagai tetangga warung, menjadi Bli Ketut sampai menjadi Kang Kang Jaja.
Sementara Indro juga berperan cukup banyak, menjadi seorang Ubai, keponakan Bang Holil dari Purbalingga. Lalu berperan sebagai Poltak, pemuda Batak.
Menariknya, tiap materi obrolan mereka dibalut dengan banyak informasi dan pengetahuan menarik. Rudy Badil misalnya dengan status mahasiswa Antropologi kerap menyelipkan folklor dari materi dosennya, Prof. Dr. James Danandjaya.
Atau Nanu yang kerap bercanda halak kita, senda gurau ala Batak. Hal ini didapat Nanu karena ia tinggal di Jalan Setia Budi, Jakarta Selatan, yang bertetangga dengan Kampung Batak.
Kepopuleran Warkop kian meninggi. Mereka pun kerap tampil di acara offline hingga pada 1980, Warkop berhenti siaran karena kewalahan mengatur waktu.
Di tahun-tahun itu, materi pembahasan Warkop juga semakin keras. Mereka mulai membawakan kritik politik terhadap pemerintahan Orde Baru.
Balutan satir komedi tidak mereka tinggalkan meski kemudian Warkop mulai masuk ke layar lebar. Materi-materi sindiran tetap diucapkan para personel Warkop.
Semisal pada satu adegan salah satu film Warkop. Pada film tersebut terdapat adegan anak-anak bermain buldoser di area proyek pembangunan. Kasino lalu menyeletuk,
“Eh jangan main-mainin alat negara ya!” Tak lama Dono langsung menyahut, “Heh, alat negara kan tentara.” “Maksud gue alat punya negara,” jawab Kasino mengutip dari islami.co
Bahkan meski tenar, personel Warkop seperti Dono misalnya tetap menuliskan kritik sosial di media masa seperti Koran.
Pada Juli 2020, tulisan Dono di majalah berjudul 'Kisah Sertu Jumadi' sempat viral kembali.
“Entah mengapa, akhir-akhir ini Pak Jumadi ikut arus ‘berperut gendut’. Baju jatah dari kantor menjadi ketat menempel di badan, sehingga jalannya pun tampak lebih susah dari biasanya. Barangkali, ia ingin memenuhi standar stereotip polisi zaman sekarang,” tulis Dono seperti dikutip dari Suara.com
Tulisan Dono itu kabarnya beredar pada 1993, tahun dimana Orde Baru sangat berkuasa dan otoriter.