SuaraBekaci.id - Peristiwa G30S menjadi lembaran kelam dalam perjalanan bangsa ini. Peristiwa yang sebenarnya terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 sampai saat ini masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Pelabelan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor utama pembunuhan kepada 6 Jenderal Angkatan Darat di Jakarta, 1 jenderal dan 1 perwira di Jawa Tengah, 1 ajudan serta 1 polisi masih menjadi perdebatan sampai saat ini.
Imbasnya setelah malam berdarah 1 Oktober 1965, ada jutaan orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI menjadi korban. Mereka tercerabut hak-haknya sebagai manusia, para korban ditahan tanpa pengadilan.
Salah satu saksi sejarah peristiwa kelabu ini adalah Heru Atmodjo. Beliau adalah salah satu perwira intelejen Angkatan Udara (AURI). Saat geger 65, ia berpangkat Letnal Kolonel.
Baca Juga:Heboh PKI Siapkan Dana Rp 5 Triliun untuk Presiden Jokowi 3 Periode, Begini Faktanya
Nama Heru sendiri disebut sebagai satu dari lima orang anggota Dewan Revolusi, di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo.
Heru Atmodjo memiliki pandangan lain soal fakta sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Heru menyebut bahwa peristiwa 1 Oktober 1965 kerap dilihat pada saat pembunuhan para jenderal di Jakarta.
Kata Heru, ada peristiwa lain yang kemudian mendorong terjadinya malam berdarah 1 Oktober 1965. Menurut Heru, peristiwa 1 Oktober 1965 merupakan puncak krisis negara Indonesia pada periode tersebut.
Heru dalam penjelasannya beberapa tahun lalu menyebut soal bagaimana lembaga intelejen Amerika Serikat (CI) memainkan perannya di peristiwa kelam ini.
"Pada 23 Maret 1965, CIA mengadakan rapat di markas CIA untuk membahas situasi politik dan sosial di kawasan Asia terutama Asia Tenggara. Topik utamanya adalah ada dua front yang mau tidak mau harus dihadapi Amerika Serikat, yaitu Vietnam dan Indonesia," jelas Heru.
Baca Juga:Profil Ade Irma Suryani, Putri Jenderal Nasution, Jadi Korban Peristiwa G30S PKI 1965
"Kita tidak bicara 1 Oktober 1965, tapi sebelumnya Maret 1965. Rapat puncak CIA yang dihadiri empat tokoh utama CIA di Manila, Filipina, Averell Harriman (veteran PD II sebagai anggota OSS-Office of Strategy Study, intel militer), William Bundy, Elsworth Bunker (juru runding dalam perdamaian RI-Belanda pada kasus Irian Barat), dan Howard P. Jones (duta besar Amerika di Indonesia selama tujuh tahun). Pertemuan itu menentukan sikap politik terhadap Indonesia," paparnya.
Pertemuan para petinggi Amerika Serikat itu kata Heru mendapat perintah langsung oleh Presiden Amerika Serikat Johnson. Dalam pertemuan tersebut, Heru menyebut bahwa pembicaraan terkait situasi politik di kawasan ASEAN.
Apalagi pada peridoe tersebut, Soekarno memiliki pandangan politik luar negeri yang sangat keras. Sejumlah upaya coba dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk bisa memperlunak Soekarno.
Masih dari keterangan Heru, sikap itu coba diambil oleh Howard P. Jones sebagai dubes Amerika Serikat. Namun hal itu tak mampu membuat Soekarno melunak. Arah politik luar negeri Soekarno makin tunjukkan sikap tegas dan melawan imprealisme Amerika Serikat.
Opsi lain kemudian coba diambil pada rapat para petinggi Amerika Serikat itu di Filipina. Salah satunya ialah upaya untuk membunuh Soekarno. Faktanya. Presiden Soekarno beberapa kali mendapat percobaan pembunuhan seperti kasus pelemparan granat di Cikini.
Friksi di Tubuh Angkatan Darat Periode 1965
Heru Atmodjo dalam paparannya kemudian menyebut bahwa pada periode 1965, di tubuh Angkatan Darat terjadi friksi. Ada faksi loyalis Soekarno, kelompok loyalis Jenderal AH Nasution dan kelompok lainnya.
Friksi di tubuh Angkatan Darat ini yang kemudian kata Heru coba dimainkan oleh petinggi CIA. Menurut Heru, dari informasi yang ia peroleh sebagai perwira intelejen saat itu, rapat di Filipina akhirnya memutuskan merancang konflik antara PKI dan Soekarno dengan memanfaatkan fraksi di tubuh AD.
"Diputuskan agar PKI dibuat ke lubang kejatuhannya sendiri. PKI yang berambisi terhadap kekuasaan serta konflik menajam dengan AD digunakan CIA untuk merancang konflik dengan Soekarno (peristiwa 1965). Kemudian Amerika Serikat memulai rancangannya dengan menyebarkan berbagai macam isu seperti isu Dewan Jendral. Menurut saya itu bentuk rekayasa karena setiap informasi intelejen harus dilihat siapa sumber dari informasi tersebut," jelas Heru.
Isu Dewan Jenderal ini yang kemudian mendorong perwira di pasukan Cakrabirawa, Letkol Untung untuk menculik para Jenderal di Jakarta pada malam 1 Oktober 1965. Heru menampik bahwa Dewan Jenderal itu kemudian dibentuk oleh Jenderal Ahmad Yani.
"Memang ada yang disebut Dewan Pertimbangan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas membuat evaluasi di dalam menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan pangkat jenderal. Alangkah bodohnya Pak Yani jika beliau yang membuat Dewan Jenderal tersebut karena beliau dulu pada masa perlawanan terhadap PRRI/PERMESTA adalah komandan yang tidak menyetujui pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Menguni," jelas Heru.
Isu Dewan Jenderal ini terus bergulir di tengah perwira muda AD yang menjadi loyalis Soekarno. Isu ini bertambah panas saat kemudian muncul rumor Soekarno idap penyakit keras.
"Perwira muda di tubuh AD pun mengadakan rapat. Mereka adalah Kolonel Latief, Letkol Untung, Kapten Wahyudi serta dua orang yang mengaku utusan Ketua CC PKI DN Aidit, yaitu Syam dan Pono,"
"Kemudian isu yang santer didengar adalah tanggal 5 Oktober 1965 Dewan Jendral tersebut akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Kemudian perwira muda progresif ini melakukan inisiatif untuk menghadapkan jenderal-jenderal ke Bung karno sebelum tanggal 5 hidup atau mati," paparnya.
Munculnya isu Dewan Jenderal ini juga dibarengi dengan telegram rahasia dari Kementerian Luar Negeri Inggris dengan judul 'The local friend army'. Ditegaskan oleh Heru, sebagai perwira intelejen, ia membantah keabsahan dokumen tersebut.
"Pada akhir Mei 1965, dokumen rahasia yang dikirim Dubes Inggris ke Kementerian Luar Negeri Inggris berisi armada laut Inggris akan menyerang Indonesia dengan bantuan tentara teman kita di Indonesia,"
"Dokumen ini, menurut saya sebagai seorang intelejen, memang otentik (A1). Saya melihat adanya perbedaan mengenai cara penulisan. Di dokumen berbentuk telegram itu tertulis the local friend army dengan tulisan tangan. Menurut saya tulisan tangan “the local friend army” sangat tidak otentik," jelas Heru.
Peran Heru Atmodjo dan AURI di Geger 1965
Menurut Heru, setelah banyaknya isu bermunculan sebelum peristiwa berdarah 1 Oktober 1965, pihak Angkatan Udara (AURI) mendapat banyak serangan. Salah satunya perisiwa ledakan gudang logistik AURI di Jalan Iswahyudi pada 9 April 1965.
Peristiwa ledakan gudang logistik ini kata Heru merupakan sabotase. Pasca perisiwa itu, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU) Omar Dhani kemudian meminta untuk adanya penambahan personel mengantisipasi peristiwa sama terulang.
"Perekrutan anggota baru membutuhkan waktu dan biaya yang lama dan tidak sedikit. Maka diputuskan untuk merekrut anggota baru melalui sukarelawan-sukarelawan Dwikora dan Trikora dulu. Mereka kemudian ditempatkan di Kebon Karet, Pondok Gede dan dilatih oleh Mayor udara Suyono (Kepala Staff teritorial udara di seluruh wilayah Indonesia)," jelas Heru.
Nah, fakta ini yang kemudian membuat AURI di-cap terlibat dalam perisiwa 1 Oktober 1965. Padahal kata Heru, tempat berlatihnya para anggota baru AURI itu di Kebon Karet, yang jaraknya cukup jauh dengan lokasi Lubang Buaya.
Namun Heru tak menampik soal para sukarelawan yang berada di Kebon Karet ini mayoritas berasal dari sejumlah underbouw PKI.
"Memang diakui bahwa mereka yang tergabung di dalam pelatihan ini sebagian besar terdiri dari mereka yang beraliran Komunis seperti Pemuda Rakjat, Sobsi, Gerwani, dll. Namun bukan berarti golongan nasionalis dan agama tidak ada. Mereka diwakili oleh Perti, Pemuda Marhean, GMNI namun memang jumlah mereka tidak terlalu banyak," jelasnya.
Dijelaskan oleh Heru, tempat pelatihan untuk calon AURI ini kemudian mendapat stigma buruk. Maka pada 26 Juli 1965 kata Heru tempat tersebut ditutup.
"Walaupun telah dibubarkan, sukarelawan-sukarelawan ini masih berlatih dan menetap di sekitar Pondok Karet karena memang sebagian besar sukarelawan ini berdomisili di sekitar Pondok Karet. Mereka kemudian dimanfaatkan oleh para perwira-perwira muda progresif untuk membantunya menculik para jenderal-jenderal,"
Terkait namanya yang masuk dalam Dewan Revolusi, Heru Atmodjo menegaskan bahwa ia sendiri tak pernah mengetahui hal tersebut. Dirinya mengakui sebagai salah satu perwira Intelejen, ia memang mendapat perintah dari KASAU Omar Dhani untuk mencari tahu mengenai peristiwa tersebut kepada Brigjen Supardjo.
"Namun, nama saya malah dikaitkan dengan Dewan Revolusi sehari setelah penculikan para jenderal di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo. Saya sendiri di hukum selama 15 tahun. Dua tahun di Ciamis bersama dengan anggota Politbiro CC PKI Sudisman. Tanpa satu hari pun saya mengurangi hukuman tersebut," jelasnya.
Letkol Heru Atmodjo menghembuskan nafas terakhirnya pada 29 Januari 2011. Jabatan terakhirnya di AURI ialah Wakil Direktur Intelegen Angkatan Udara Indonesia. Petikan wawancara di atas dilakukan pada 29 September 2009.
Proses pemakaman Heru Atmodjo sempat menjadi kontoversial. Peraih Bintang Gerilya sempat dimakamkan di TMP Kalibata namun dibongkar pada 25 Maret 2011. Kini Heru Atmodjo dimakamkan di Bangil, Sidoarjo, Jawa Timur.