SuaraBekaci.id - Sepak bola Indonesia kembali digelayut awan mendung. Suporter kembali jadi korban tewas. Dua suporter Persib, Bobotoh meninggal dunia saat menonton pertandingan di Stadion GBLA, Jumat (17/6/2022).
Dua bobotoh yang tewas itu adalah Sofiana Yusuf, seorang warga Bogor dan juga Asep Ahmad Solihin yang merupakan warga Cibaduyut, Jawa Barat.
Penyebab tewasnya dua bobotoh ini akibat membludaknya penonton di Stadion GBLA saat laga Persib melawan Persebaya.
"Dugaannya itu adalah tidak sabar ingin masuk, terburu-buru. Padahal sudah diimbau agar antre dan antrean-nya juga sudah ada," kata Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Aswin Sipayung mengutip dari Antara.
Baca Juga:Media Vietnam Ikut Soroti Tragedi Meninggalnya 2 Suporter Persib Bandung di Piala Presiden 2022
Tewasnya suporter di stadion tentu jadi pukulan telak tidak hanya untuk panitia pelaksana (Panpel) Persib namun juga semua stackholder sepak bola nasional, mulai dari PT LIB dan PSSI.
Menurut pengamat sepak bola Akmal Marhali, tewasnya dua orang bobotoh tersebut menjadi tanggung jawab panitia pelaksana (Panpel). Ia pun berharap ada hukuman berat yang dijatukan kepada Panpel.
"Panitia harus bertanggung jawab atas kejadian ini dan diberikan sanksi tegas dan berat," tulis Akmal di akun Instagram pribadinya, @akmalmarhali20
Lebih jauh Akmal mengatakan bahwa PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku panitia pelaksana Piala Presiden 2022 tidak bisa menjalankan SOP dengan benar.
Kasus kematian dua bobotoh ini pun kembali membuat sejumlah pihak menegaskan bahwa nyawa suporter lebih penting dari pertandingan sepak bola.
Baca Juga:Piala Presiden 2022 Menelan Dua Suporter Bobotoh, Pengamat Sepakbola Kritik Kerja Panpel
Pernyataan itu disampaikan mulai dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, istri dari Alm Ayi Beutik, Mia Beutik hingga kapten Persib, Achmad Jufriyanto.
Pernyataan yang sama saat beberapa tahun lalu ada juga suporter tewas. Sayangnya kejadian sama masih saja terjadi.
Sepak Bola Vietnam dan masalah suporter
Masalah soal suporter tidak hanya dialami Indonesia, negeri tetangga Vietnam beberapa tahun lalu juga alami hal sama.
Malah bisa dibilang masalah sepak bola Vietnam lebih kompleks dan memalukan. Sama-sama jadi kritik dunia internasional di ajang Piala Tiger 1998 karena sepak bola gajah, sepak bola Vietnam dan Indonesia sama-sama merangkak sejak saat itu.
Pada 2006 misalnya, muncul skandal suap, mafia dan judi yang membuat malu negara tersebut. Pada periode 2005 hingga 2006, kepolisian Vietnam membongkar 50 kasus praktek suap dan judi di kompetisi lokal.
Di tahun sama, pengadilan Vietnam bahkan sampai memberi vonis hukuman berat kepada 8 pemain anggota timnas U-23 karena terlibat kasus suap dan judi.
Tidak berhenti di situ, setahun setelah seperti dikutip laporan Associated Press, ada 7 wasit dan 2 offisial klub yang terlibat dalam praktek judi dan suap.
Kasus ini membuat federasi sepak bola Vietnam berbenah total. Namun saat federasi tengah membenahi masalah internal ini, masalah lain muncul yakni suporter.
Masih bersumber dari laporan Associated Press, pada April 2003 ada 18 suporter ditangkap karena terlibat dalam bentrok yang mengakibatkan ditusuknya kiper bernama Do Ngoc Cha.
Korban adalah kiper klub Da Nang yang pada malam sebelum kejadian sukses membawa timnya meraih kemenangan atas SLNA. Korban ditikam oleh suporter lawan di sebuah klub malam.
Korban kemudian dilarikan ke rumah sakit dan sempat alami koma. Mengutip dari laporan media lokal, DanTri, Do Ngoc kemudian memilih pensiun dini setelah kejadian itu.
Pasca penyerangan itu, pihak kepolisian kemudian gerebak sebuah markas suporter. Laporan dari Tuoi Tre menyebutkan saat itu, polisi menemukan sejumlah barang bukti yang cukup mengagetkan publik sepak bola Vietnam.
"Kepolisian menangkap 18 orang dan menyita pedang, pisau, amunusi, hingga granat tangan. Ada dugaan para suporter ini marah karena kekalahan SLNA membuat mereka kalah taruhan,"
Pasca kejadian yang mencoreng muka mereka, VFF, federasi sepak bola Vietnam pelan namun pasti mulai berbenah. Salah satunya dengan cara industrialisasi dengan gandeng kearifan lokal.
Federasi membuka jalan untuk diadakannya acara menonton bareng, impactnya ratusan ribu kios berjejer di pasar lokal. Suporter jadi enggan bentrok karena akan merusak sendi kehidupan ekonomi mereka.
Masalah judi diselesaikan, kasus suporter juga dituntaskan, VFF kemudian baru mulai membenahi kualitas pemain di level timnas. Program berkelanjutan itu yang kemudian membuat negara ini kini menjadi tim sepak bola terbaik di ASEAN mengacu pada level rangking FIFA.