Nyorog, Tradisi Warga Betawi Jelang Lebaran yang Kini Mulai Redup

Lantaran sudah menjadi tradisi yang berakar, ada yang membawakan makanan kegemaran orang tua berupa semur jengki alias jengkol.

Ari Syahril Ramadhan
Sabtu, 30 April 2022 | 12:09 WIB
Nyorog, Tradisi Warga Betawi Jelang Lebaran yang Kini Mulai Redup
Perayaan lebaran betawi di Kota Tangerang tepatnya di Cipondoh dalam rangka Milada si Benteng. [ANTARA]

SuaraBekaci.id - Warga Betawi memiliki tradisi untuk mengunjungi orang tua seperti babe, enyak, encang, encing, mamang, mertua hingga abang jelang Lebaran.

Tak sekedar berkunjung, mereka biasanya juga membawakan makanan khas Betawi seperti semur ikan bandeng, ketupat dengan sejumlah lauk-pauknya. Namun, ada pula di lingkungan orang Betawi anggota keluarga muda tadi membawa semur daging berikut ketupat yang dibawa menggunakan rantang. Bahkan ada yang menggunakan nampan.

Lantaran sudah menjadi tradisi yang berakar, ada yang membawakan makanan kegemaran orang tua berupa semur jengki alias jengkol.

Kebiasaan mengunjungi orang yang lebih tua tadi menjelang Lebaran itu kini mulai menipis. Bisa jadi karena sulitnya mendapatkan daging yang setiap tahun naik harganya. Bisa karena faktor lain, yaitu jauhnya domisili anggota keluarga di kalangan masyarakat Betawi.

Baca Juga:Catat, Ini 4 Rekayasa Lalu Lintas yang Berlaku di Tol Japek

Biasanya, ketika anggota keluarga hendak pulang bukan berarti rantang yang dibawa pulang lantas kosong. Tidak. Sang mertua, babe dan si abang yang mendapat kunjungan tadi membalasnya mengisi dengan makanan lain. Bisa diisi kue kering atau pun makanan lain yang dapat menggembirakan bagi anggota keluarga.

Lantas apa isi pembicaraan kedatangan orang muda ke orang yang dituakan? Biasanya diisi dengan obrolan ringan sambil melepas rindu sekaligus minta didoakan agar kehidupan ke depan berkah, makmur dan selalu mendapat lindungan Allah.

Bertandang ke kediaman orang lebih tua tadi jelang Lebaran, di kalangan masyarakat Betawi dikenal sebagai nyorog.

Sekarang tradisi ini sudah menipis seiring perpindahan kediaman warga akibat perkembangan zaman, seperti terkena gusuran dan pindah domisili akibat tingkat ekonomi yang membaik sehingga komunitas orang Betawi mulai tersebar.

Warga Betawi memang tidak melakukan mudik. Meski begitu, kita prihatin, kekuatan kekerabatan antarsesama harusnya dapat dilestarikan. Tradisi nyorog memang masih terlihat di pemukiman warga pinggiran Jakarta.

Baca Juga:Puluhan Anggota Geng Motor di Sukabumi Tak Bisa Lebaran di Rumah Gara-gara Ini

Bisa jadi tradisi ini ke depan hilang. Pasalnya, warga Betawi tak lagi melulu kawin dengan etnis yang sama. Banyak di antaranya menikah dengan etnis Jawa, Makassar. Ada juga menikah dengan etnis dari Pulau Sumatera, Kalimantan dan bahkan menikah dengan kalangan orang “bule”.

Ikut Mudik

Karena itu, ketika menjelang Lebaran tradisi nyorog mulai langka. Apalagi di antara warga Betawi ada yang ikut mudik dengan suami atau isterinya yang berasal dari etnis lain.

Mudik dalam rangka silaturrahim merupakan budaya Indonesia yang berakar dari Islam. Ia tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan.

Kemajuan teknologi dan media sosial belum bisa menggantikan budaya mudik. Realitasnya, kini puluhan juta warga melaksanakan mudik untuk silaturrahim di kampung halamannya.

Mudik menjadi bagian dari kehidupan tahunan dan mengandung makna bagi setiap individu. Bukan saja karena nilai sejarah tempat dilahirkan dan dibesarkan, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan spirit untuk bangkit dan maju.

Boleh jadi mudik dimaknai sebagai sebagai reaktualisasi 'kembali' kepada ke asal yang bersifat transendental, yaitu Allah sebagai Sang Pencipta. Manusia diciptakan tak ubahnya sang musafir, cepat atau lambat akan kembali ke asal, yaitu Allah --Sang Khalik.

Itu sebabnya, ketika seseorang meninggal dunia, selalu diucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).

Kini, mudik jadi simbolisasi kembali kepada kefitrahan sejati. Sesudah puasa Ramadhan, insya Allah diampuni segala dosa dan diterima amal ibadah.

Bagi para pemudik, ada kepuasan spiritual. Sebab, mereka bisa bersilaturrahim dan ziarah kubur orang tua, kakek, nenek dan mereka yang dihormati dan disayangi, sambil mendoakan dan berharap mendapat keberkahan, kemajuan dan keselamatan dalam menjalani kehidupan.

Nilai Ekonomi

Mudik, walaupun mengandung dampak negatif seperti macet di sepanjang jalan menuju kampung halaman, menimbulkan kesibukan yang luar biasa menjelang, saat dan seusai Lebaran, tetapi manfaatnya dalam bidang ekonomi dapat dirasakan.

Mereka yang mudik, biasanya membayar zakat fitrah, zakat mal (harta), infak, sedekah dan memberi bantuan kepada keluarga dan famili di kampung halaman. Kedermawanan pemudik, melahirkan distribusi ekonomi ke masyarakat bawah yang tinggal di kampung halaman.

Pemudik tidak hanya melaksanakan ajaran agama seperti berderma, tetapi pemudik juga membeli berbagai macam kebutuhan sehari-hari termasuk makan, dan bermalam di hotel, motel dan penginapan. Lebih penting lagi hasil kebun atau pertanian para petani dibeli para pemudik.

Ekonomi di desa menggeliat. Pada saat mudik, hotel, motel dan penginapan dipenuhi pemudik dari berbagai lapisan masyarakat terutama kelas menengah dan kelas atas.

Dampak ekonomi di kampung dan di daerah mengalami putaran yang cepat. Pasca COVID-19 ini, Pemerintah daerah seyogianya memperoleh manfaat dari pendapatan pajak barang dan jasa, sehingga menambah pendapatan asli daerah.

Sungguh indah pesan Rasulullah bahwa setiap Muslim hendaknya bersilaturahim. Beribadahlah kepada Allah dengan sempurna, jangan syirik, dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahim dengan orang tua dan saudara (HR. Bukhari). [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini