SuaraBekaci.id - Rahmat Effendi, Wali Kota Bekasi ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi proyek pembebasan lahan di Kota Bekasi serta jual beli jabatan di Lingkungan Pemkot Bekasi.
Rahmat Effendi diamankan oleh tim KPK bersama 13 orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Kota Bekasi pada Rabu (5/1/2021) siang.
Ketua KPK, Firli Bahuri dalam penjelasannya, Kamis (6/1) menegaskan bahwa dalam OTT tersebut, empat orang sebagai pemberi dan lima orang lainnya sebagai penerima.
Rahmat selaku penerima suap bersama M Bunyamin (MB) selaku Sekretaris Dinas Penanaman Modal PTSP Pemkot Bekasi; Mulyadi (MY) selaku Lurah Kati Sari; Wahyudin (WY) selaku Camat Jatisampurna; dan Jumhana Lutfi (JL) selaku Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Kota Bekasi.
Baca Juga:Fakta-Fakta Wali Kota Bekasi Ditetapkan Tersangka Korupsi Lelang Jabatan
Sedangkan, pemberi suap yakni, Ali Amril selaku Direktur PT Mam Energindo; Lai Bui Min (LBM) alias Anen selaku pihak swasta; Suryadi selaku Direktur PT. Kota Bintang Karyati (PT KBR); dan Makhfud Saifudin MS selaku Camat Rawalumbu.
OTT di Rumah Dinas Wali Kota
Ketua KPK, Firli Bahuri dalam penjelasannya mengatakan bahwa dalam OTT Rahmat Effendi, pihaknya menerima laporan dari masyarakat.
Pihak KPK kata Firli mendapat informasi bahwa MB akan menerima uang pada Rabu siang. Tim KPK melakukan pengintaian dan mengetahui bahwa MB masuk ke rumah dinas Wali Kota dengan membawa sejumlah uang.
Diduga uang tersebut diserahkan kepada Rahmat Effendi. MB kemudian diamankan oleh tim KPK saat keluar dari rumah dinas Wali Kota Bekasi.
Baca Juga:Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Pakai Kode "Sumbangan Masjid" Tampung Fee Proyek
Tim masuk ke rumah dinas Wali Kota. Di sana tim lalu mengamankan sejumlah pihak, diantaranya, Rahmat Effendi, Lurah Kali Sari, Mulyadi, ajudan Rahmat Effendi, Bagus Kuncorojati dan sejumlah ASN Pemkot Bekasi.
Tim KPK menemukan barang bukti sejumlah uang sebesar Rp.5,7 miliar dengan rincian, Rp 3 miliar dalam bentuk cash dan Rp. 2,7 miliar dalam buku rekening.
Masih dari keterangan Ketua KPK, Rahmat Effendi yang juga politisi Partai Golkar itu juga diduga menerima suap untuk proyek pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Lingkungan Pemkot Bekasi.
Rahmat Effendi meminta suap dengan dalih sebagai 'sumbangan masjdi'. Pepen sapaan akrab Rahmat Effendi disebut Firli Bahuri meminta komitmen kepada sejumlah pihak yang lahannya akan diganti rugi oleh Pemkot Bekasi.
Di dalam APBD-P Tahun 2021 terdapat total anggaran sebesar Rp 286,5 miliar untuk belanja modal ganti rugi tanah di wilayah Kota Bekasi.
Ganti rugi itu diperuntukan, pertama pembebasan lahan sekolah di wilayah Rawalumbu senilai Rp 21,8 miliar. Ada pembebasan lahan Polder 202 senilai Rp25,8 miliar.
Ganti rugi juga dialokasikan untuk pembebasan lahan Polder Air Kranji senilai Rp 21,8 miliar serta melanjutkan proyek pembangunan gedung teknis bersama senilai Rp 15 iliar.
Menurut Firli, Pepen selaku Wali Kota diduga menetapkan lokasi pada tanah milik swasta dan inventaris dengan memilih langsung para pihak swasta.
Uang Dikumpulkan ke Yayasan
Uang yang sudah dikumpulkan dari sejumlah pihak ini menurut Firli kemudian oleh Pepen dipercayakan kepada Jumhana Lutfi yang menjabat Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Kota Bekasi yang menerima uang mencapai Rp 4 Miliar dari Lai Bui Min (LBM) alias Anen selaku pihak swasta.
Kemudian, Wahyudin (WY) selaku Camat Jati Sampurna menerima uang sejumlah Rp 3 Miliar dari Makhfud Saifudin selaku Camat Rawalumbu. Uang itu dikumpulkan ke yayasan milik keluarga Rahmat Effendi.
"Mengatasnamakan sumbangan ke salah satu Mesjid yang berada dibawah yayasan milik keluarga Rahmat Effendi sejumlah Rp100 juta dari Suryadi selaku Direktur PT. Kota Bintang Karyati," ujar Firli.
Tak hanya itu, Pepen kata Firli juga menerima uang dari sejumlah ASN Pemkot Bekasi. Uang ini didapat Pepen dengan dalih sebagai pemotongan terkait posisi jabatan yang diemban oleh mereka.
"Uang tersebut diduga dipergunakan untuk operasional tersangka RE (Rahmat Effendi) yang dikelola oleh MY (Mulyadi) selaku Lurah Kati Sari yang pada saat dilakukan tangkap tangan, tersisa uang sejumlah Rp 600 juta," jelas Firli.
Nilai Korupsi yang Lebih Tinggi Dibanding Pendahulu
Rahmat Effendi naik menjadi Wali Kota Bekasi pada 3 Mei 2012, ia menggantikan Mochtar Mohammad yang juga tersandung korupsi.
Mirisnya, nilai dugaan korupsi yang dilakukan oleh Rahmat Effendi sangat besar dibanding pendahulunya tersebut. Pepen diduga menerima uang suap mencapai angka Rp 7,1 miliar.
Sedangkan untuk kasus Mochtar Mohammad, politisi PDI Perjuangan itu pada 2012 terjerat kasus perkara suap anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar dan menyalahgunakan anggaran makan-minum sebesar Rp 639 juta untuk memuluskan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi tahun 2010.
Mochtar juga dinyatakan terbukti memberikan suap sebesar Rp 500 juta untuk mendapatkan Piala Adipura 2010 serta menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan senilai Rp 400 juta agar mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, jaksa memutus bebas untuk Mochtar. Namun pada Maret 2012, Mahkamah Agung dalam sidang kasasi membatalkan keputusan tersebut dan menyatakan Mochtar terbukti korupsi bersama-sama serta dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun, denda Rp 300 juta, dan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 639 juta.
Daftar Panjang Istilah Kode Rahasia Korupsi
Istilah sumbangan masjid menambah daftar panjang akal bulus para koruptor untuk melakukan perbuatan menyalahi hukum. Pada 2011 publik sempat dibuat geger dengan istilah Apel Malang, Apel Washington, dan Salak Bali di kasus suap Wisma Atlet.
Menurut Mindo Rosalina Manulang, terdakwa dugaan korupsi proyek P3SON Hambalang, apel Washington adalah sandi untuk duit dolar dan apel Malang sandi untuk duit rupiah. Dalam kasus ini juga terdapat istilah Ketua Besar dan Bos Besar.
Pada kasus suap impor daging mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq terdapat istilah pustun dan Jawa Sarkia. Lalu di kasus korupsi Ketua DPRD Bangkalan, Fuad Amin Imron pada 2014 muncul istilah obat.
Istilah yang digunakan oleh para koruptor ini adalah sandi yang hanya dimengerti untuk memuluskan proses negosiasi mereka.
Menurut Eks Koordinator ICW, Ade Irawan, kode ini memang sengaja digunakan para koruptor untuk mengecoh para aparat penegak hukum. Kode ini biasanya hanya akan dimengerti oleh mereka yang berada di dalam lingkaran korupsi itu sendiri.