Scroll untuk membaca artikel
Galih Prasetyo
Kamis, 02 November 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi bullying/ tindak kekerasan (pixabay.com)

SuaraBekaci.id - Sekolah bagi Totto-chan bukan hanya ruang yang berisi aktivitas rutin membosankan. Bagi Totto-chan, sekolah adalah rumah kedua, tempat nyaman dan aman yang membuatnya mendapat ilmu bermanfaat.

Rasa nyaman bersekolah dan mendapatkan ilmu bermanfaat yang dirasakan oleh Totto-chan tak lepas dari perangkat pendidikan di Sekolah Tomoe Gakuen.

Guru dan kepala sekolah di sekolah itu dengan segala keterbatasan yang dimiliki mampu menyulap ruang kelas jadi tempat ternyaman bagi anak didik menyerap ilmu pengetahuan.

Totto-chan dan rekan-rekannya mendapatkan rasa nyaman dan aman saat bersekolah. Padahal sebelum bersekolah di Sekolah Tomoe Gakuen, Totto-chan sempat beberapa kali dikeluarkan karena kelakuan isengnya.

Baca Juga: Guru Bocah SD di Bekasi Anggap Bullying Bercanda, KPAI: Pengetahuannya Kurang

Sifat iseng Totto-chan hingga beberapa kali dikeluarkan dari sekolah rupanya didasari berbagai faktor, salah satunya ketidakmampuan guru mendidik dan menguasai ruang kelas.

Gambaran di atas adalah review singkat buku karya Tetsuko Kuroyanagi, penulis dari Jepang yang menggambarkan bagaimana ia bersekolah saat kecil.

Buku Totto-chan bagi mereka menempuh studi ilmu pendidikan di tingkat universitas tentu sangat tidak asing. Buku Totto-chan menjadi panduan bagi mereka yang ingin menjadi seorang guru.

Ilustrasi di ruang kelas (Pexels.com/Ron lach)

Bisa dibilang, apa yang digambarkan Totto-chan dalam bukunya itu adalah kondisi ideal bagi seorang murid mendapat pendidikan di sekolah.

Namun, faktanya belakangan sekolah bukan lagi jadi tempat nyaman bagi peserta didik. Budaya perundungan, bullying hingga aksi kekerasan fisik jadi momok bagi anak didik.

Baca Juga: Kasus Bullying Siswi SMP di Depok Jadi Sorotan Dinas Pendidikan, Orang Tua Diminta Cek Hp Anak

Budaya perundungan ini bahkan terkesan diwajarkan dan tidak ada solusi konkret dari pihak terkait. Terbaru, kasus perundungan dan aksi kekerasan fisik yang dialami oleh Fatir Arya Adinata (12).

Fatir adalah murid kelas VI SDN Jatimulya 09 Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekitar Februari 2023 lalu, Fatir bersekolah seperti biasa.

Kala itu, di jam istirahat, Fatir diajak oleh lima orang rekannya untuk jajan di kantin. Fatir menuruti ajakan lima rekannya itu. Entah, dengan alasan apa, satu dari lima rekannya itu dengan sengaja selengkat Fatir.

'Dukkk', lutut kaki Fatir keras mengenai lantai. Tangannya pun luka karena menahan berat badannya. Timbul memar di bagian lutut Fatir, ia meringis kesakitan.

Gelak tawa justru terdengar dari rekan-rekan Fatir melihat kondisi itu. Mereka sama sekali tak menolong Fatir.

Tak hanya menertawakan, rekan-rekan Fatir itu kemudian memintanya tak mengadukan hal itu kepada pihak sekolah.

Di bawah ancaman, Fatir memilih bungkam dan menahan rasa sakitnya sendiri.

Pulang sekolah, Fatir pun tak mengadu dengan orang tuanya atas peristiwa yang ia alami di sekolah. Tak hanya itu, sebelum kejadian diselengkat, Fatir jadi sasaran olok-olok rekan satu kelasnya.

'Dasar anak mami' begitu rekan-rekannya mengolok-olok Fatir. Paras tampan Fatir pun jadi bahan ejekan bagi rekan-rekannya.

"Sok kegantengan," ejekan yang kerap masuk ke telinga Fatir saat bersekolah.

Semua olok-olok dan hinaan itu baru diketahui oleh Diana Novita, ibunda Fatir saat sangat anak terbaring lemah di rumah sakit.

“Sebelum itu (jatuh) sering di olok-olok ‘anak mamah, sok kegantengan’ kaya gitu, karena anak saya sering maju (di kelas) menjatuhkan mentallah ya,” ujar Diana saat dikonfirmasi wartawan termasuk SuaraBekaci.id, Selasa (31/10).

Tekel Berujung Kaki Diamputasi

Tiga hari pasca Fatir mendapat tekel dari rekan-rekannya, kondisi lututnya memburuk. Sebagai orang tua, Diana merasakan bahwa apa yang dialami Fatir ada yang janggal.

Bahkan Fatir sempat tidak bisa berjalan pasca tekel dari rekan-rekannya itu. Diana pun mulai mengorek kejadian yang sesungguhnya terjadi.

Fatir akhirnya mengungkap apa yang ia rasakan selama di sekolah, termasuk perundungan yang kerap didapat dari rekan-rekannya.

Sekolah yang harusnya jadi 'rumah kedua' bagi Fatir justru jadi tempat yang tak pernah dibayangkan Diana atau orang tua lain.

Semua daya dan upaya dikerahkan Diana agar Fatir bisa sembuh seperti sedia kala. Diana bahkan membawa Fatir ke tiga rumah sakit dan menjalani semua pemeriksaan hingga Magnetic Resonance Imaging alias MRI.

Bak petir di siang bolong, Diana harus menelan pil pahit soal kondisi kaki Fatir. Dari hasil pemeriksaan tiga rumah sakit, satu-satunya cara agar Fatir sembuh ialah amputasi.

Respon Menyepelekan Wakepsek SDN Jatimulya 09 Soal Bocah Korban Bullying Hingga Kaki Diamputasi (Suara.com/Mae Harsa)

“Karena setelah tiga hari itu Fatir tidak bisa berjalan, sakit kakinya. Dari situ lah saya pengobatan Fatir, sehingga terjadi lah amputasi ini, perjalanan yang cukup panjang,” jelas Diana dengan nada bergetar.

Fatir saat ini menjalani perawatan secara intesif di ruang ICU RS Kanker Dharmais Jakarta.

Pasca kondisi yang dialami Fatir, Diana sebenarnya sudah berupaya untuk meminta kejelasan kasus ini kepada pihak sekolah. Diana menyebut sudah tiga kali ada pertemuan antara pihak sekolah dengan keluarga terduga pelaku perundungan.

Hasilnya nihil kata Diana. Bahkan Diana mengungkap, permintaan maaf dari keluarga terduga pelaku disampaikan via chat WhatsApp.

“Permintaan maaf itu dari salah satu yang selengkat Fatir itu, sayangnya via WA ya,” ucap Diana.

Diana pun membawa kasus ini ke pihak kepolisian. Laporan kepolisian dibuat Diana pada April 2023. Bagi Diana, menempuh jalur hukum menjadi cara agar aksi perundungan yang dialami Fatir bisa berakhir.

Cukup Fatir kata Diana yang jadi korban bullying. Ia berharap tidak ada lagi Fatir-fatir berikutnya.

Sekolah Wajarkan Perundungan dan Bullying

SD Negeri Jatimulya 09 berlokasi di Jalan Swadaya I RT03/06, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekolah itu berlantai dua dengan pohon cukup rindang berada di salah satu sudut lapangan.

Saat jurnalis SuaraBekaci.id, Mae Harsa mendatangi sekolah tersebut, di sisi lapangan lain, sejumlah murid tampak asyik bermain bola sepak. Meski lapangan beralas semen, kondisi itu tak menyurutkan anak-anak bermain dengan riang.

Gambaran soal SD Jatimulya 09 ini sebenarnya seperti sekolah pada umumnya. Namun di sekolah itu, Fatir harus mengalami kondisi yang saat ini ia alami, kakinya harus diamputasi akibat tekel dari rekannya.

Sejumlah awak media pada Selasa (31/10) mendatangi SD Jatimulya 09 untuk meminta klarifikasi soal peristiwa yang dialami Fatir. Setelah menunggu cukup lama dengan alasan para guru sedang rapat, pihah sekolah akhirnya buka suara kepada awak media.

Wali Kelas 6, Sukaemah berikan keterangan kepada awak media termasuk SuaraBekaci.id. Perempuan yang juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah itu beberkan soal kejadian yang dialami Fatir.

Sukaemah mempertanyakan balik saat ditanya awak media perihal pengakuan ibunda Fatir bahwa anaknya kerap diejek dan diolok-olok rekan sekelasnya.

“Nah itu yang dikatainnya semacam apa ya, kan saya di kelas terus, kalau ada perundungan pasti lah anak-anak lapor,” kata Sukaemah sambil senyum-senyum. 

Wanita berkacamata itu kemudian menyebut bahwa ejekan dan olok-olokan yang terjadi di kelas 6 adalah hal biasa. Ia pun menyebut bahwa kebiasaan bullying verbal itu mungkin disalahartikan oleh Fatir.

“Mungkin kalau bercanda-bercandaan ‘ah lu jelek, ah lu hitam’ mungkin ya namanya sudah kelas 6, sudah biasa kayanya juga. Mungkin menurut Fatir lain lagi kali ya,” jelas Sukaemah.

Wali kelas Fatir ini pun berkeyakinan apa yang dialami anak didiknya itu bukan perundungan melainkan bercandaan.

“Bercanda ya itu, bukan yang dirundung. Kalau dirundungkan beda lagi ya kekerasan,” ucap lagi.

Soal tekel rekan Fatir, Sukaemah lalu mennyebut bahwa itu ketidaksengajaan. “Dalam peristiwa itu mereka jajan, bercanda-bercanda nah tanpa sengaja selengkatan, jatuh,” jelasnya.

Mirisnya, pernyataan dari Sukaemah ini kemudian diamini oleh Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) Kabupaten Bekasi, Irawan Sari Prayitno.

Irawan kemudian bersandar pada peratura Menteri yakni Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP).

“Konsep perundungan itu kan kekerasan, bicara kekerasan ada 6, fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, dan keputusan yang berbau kekerasan,” jelas Irawan.

“Di sini saya tanya ke bu kepsek (kepala sekolah) ada ga perundungan, tidak ada pembullyan di sini, saya berbicaranya begitu,” lanjutnya.

Kasus yang Terus Terulang

Apa yang dialami Fatir bukan kasus baru, kasus perundungan dan bullying terus terjadi. Sebelum kasus Fatir, publik sempat geram dengan aksi kekerasan yang dilakukan pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah.

Tak hanya di Cilacap, di Sukabumi, pelajar SD dengan inisial Le juga jadi korban perundungan fisik hingga sebabkan tangannya patah. Mirisnya, ada dugaan pihak sekolah dan guru mengintimidasi korban agar bungkam.

Menurut pengakuan orang tua korban, DS, pihak sekolah awalnya bungkam ada kasus perundungan dan kekerasan kepada anaknya. Bahkan diduga ada intimidasi dari pihak sekolah dan guru.

Awalnya, pihak keluarga meminta sekolah untuk memberikan klarifikasi terkait hal yang dialami oleh Le. namun tidak pernah ada jawaban memuaskan.

"Kami sebagai orang tua tentunya tidak terima dengan adanya kejadian ini, bahkan parahnya lagi diduga pihak sekolah melindungi terduga pelaku sampai harus mengintimidasi anak saya," kata ayah korban DS seperti dikutip dari Antara, Rabu (1/11).

DS pun kemudian melaporkan kasus ini ke Polres Sukabumi Kota pada pertengahan Oktober 2023 padahal kejadiannya Februari 2023. Ternyata selama delapan bulan, anaknya bungkam karena diduga diintimidasi oleh oknum pihak sekolah.

Sementara itu, pihak kepolisian Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Sukabumi Kota akan bersikap profesional mengusut kasus dugaan perundungan dan kekerasan yang dialami oleh Le.

Ilustrasi bullying (pexels.com/Mikhail Nilov)

"Keluarga korban sudah membuat laporan polisi pada 16 Oktober 2023 terkait kasus dugaan perundungan dan kekerasan terhadap seorang pelajar SD berinisial Le (9)," kata Kasat Reskrim Polres Sukabumi Kota AKP Yanto Sudiarto.

Di Depok, Jawa Barat, viral video aksi bullying yang dialami oleh seorang siswi SMP, ARN (14). Pelaku perundungan adalah remaja perempuan berusia 16 tahun, MIK.

ARN menjadi korban perundungan pada Sabtu 28 Oktober 2023 di Gang Tolib Rt 03/04, Bedahan, Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. Awalnya, ARN memiliki masalah dengan pelaku.

Akibat aksi perundungan fisik itu, korban mengalami luka lebam dan kasus ini sedang ditangani oleh Polres Metro Depok.

Apa Upaya Pemerintah Cegah Perundungan?

Sekolah ramah anak menjadi kunci mencegah terjadinya perundungan kepada peserta didik. Penerapan sekolah ramah anak bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sangat penting.

"Belajar dari kasus-kasus perundungan di satuan pendidikan, maka penting dilakukan upaya pencegahan diantaranya melaksanakan kebijakan satuan pendidikan ramah anak," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar seperti dikutip dari Antara.

Nahar menegaskan setiap satuan pendidikan harus mempedomani Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

"Pentingnya penerapan standar lembaga perlindungan khusus ramah anak dan secara khusus mematuhi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dimana setiap satuan pendidikan memiliki TPPK," katanya.

Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) adalah tim yang dibentuk satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.

Di tingkat daerah, lanjut Nahar, juga harus dibentuk TPPK)yang dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.

Ilustrasi sekolah inklusi. [Ist]

Lantas pertanyaannya apakah upaya pemerintah sudah maksimal? Faktanya kasus sama terus berulang dan munculkan korban serta pelaku baru.

Menurut studi Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa ada sebanyak 41% pelajar di Indonesia yang menjadi korban aksi bullying. Sebuah angka yang cukup besar untuk tahun 2018.

Pada tahun 2023 seperti dikutip dari Yoursay.id--jaringan Suara.com, Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan bahwa dalam periode bulan Januari–Juli 2023, terdapat 41 peserta didik yang menjadi korban perundungan.

Sekolah ramah anak memang jadi program yang penting, namun yang tak kalah penting sebenarnya merombak institusi pendidikan itu secara menyeluruh.

Berkaca dari Totto-chan, bahwa sangat penting bagi seorang guru bisa menguasa kelas dan memahami soal tumbuh kembang peserta didik. Konsep sekolah pun harus disepekati sebagai tempat yang menyenangkan, tempat nyaman untuk belajar.

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sedari dulu menyebut istilah sekolah dengan Taman. Konsep taman ialah tempat atau ruang belajar yang menyenangkan, nyaman dan aman bagi seorang anak.

Bagi Ki Hajar Dewantara, anak-anak yang datang ke sekolah dengan hati riang, tidak dengan hati takut jadi korban bullying, dan pada saat meninggalkan sekolah dnegan hati gembira. Sekolah harusnya tidak menimbulkan trauma dan rasa takut bagi seorang peserta didik.

Kementerian Pendidikan menegaskan hal itu pada konsep sekolah ramah anak. Menurut Direktorat Sekolah Dasar, ekosistem sekolah yang baik dan kondusif akan mencegah terjadinya aksi perundungan.

Namun faktanya, ekosistem itu belum bisa juga diciptakan dan kasus perundungan terus berulang.

Mengapa Korban Perundungan Tutup Mulut?

Mulia Sari Dewi, M.Si., Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut bahwa perundungan merupakan tindakan kekerasan atau tindakan agresif yang terjadi berulang-ulang.

Bagi pelaku, aksi agresifnya kepada korban membuatnya merasa senang. Menurut Mulia, aksi perundungan itu tidak hanya orang per orang tapi juga kelompok, seperti misalnya kasus Fatir.

“Perundungan ini bukan hanya terjadi dari orang per orang, tapi antar kelompok. Oleh kelompok kecil atau geng melawan 1 atau melawan kelompok lain. Perundungan juga bisa terjadi di luar lingkungan sekolah oleh kelompok besar atau kerumunan massa,” jelasnya seperti dikutip dari kemdikbud.go.id

Perundungan itu sendiri ada beberapa jenis kata Mulia, ada cyberbullying yang merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar untuk merugikan atau menyakiti orang lain. Itu bisa dilakukan melalui gangguan komputer, jejaring sosial di dunia maya, telepon seluler dan peralatan elektronik lainnya.

Kemudian ada perundungan fisik, yaitu merupakan tindakan yang mengakibatkan seseorang secara fisik terluka akibat digigit, dipukul, ditendang dan bentuk serangan fisik lainnya.

Selanjutnya, ada jenis perlindungan sosial, yaitu mencakup perilaku seperti menolak, memeras, mempermalukan, menilai karakteristik pribadi, memanipulasi pertemanan dan mengucilkan.

Ilustrasi Bullying (Pexels/RODNAE Productions)

“Yang terakhir ada perundungan verbal, yaitu meliputi perilaku kekerasan melalui intimidasi atau ancaman kekerasan, ejekan atau komentar rasis. Tidak hanya itu, dia juga melakukan bahasa bernada seksual atau menggoda ejekan dengki atau membuat komentar kejam,” ungkapnya.

Lantas mengapa korban perundungan kerap diam?

Mulia menjelaskan, ada beberapa alasan kenapa korban perundungan tidak ingin melaporkan kejadian-kejadian tersebut. Pertama, mereka takut akan pembalasan.

Merasa malu karena tidak bisa membela diri. Bisa juga takut tidak percaya, tidak ingin membuat khawatir orang tua, takut nasihat orang tua, takut guru akan memberitahu si pengganggu dan dianggap menjadi pengadu.

“Sementara orang lain yang malas melaporkan kejadian perundungan mereka merasa khawatir bahwa campur tangan akan membuat mereka menjadi target berikutnya. Salah percaya bahwa tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk menghentikan intimidasi, tidak hadirnya guru atau orang tua dan keengganan saksi melapor menambah peluang terjadinya perundungan,” kata Mulia.

Sedangkan ciri-ciri korban perundungan di antaranya adalah siswa di kelas yang cenderung lebih kecil dan lebih lemah daripada rekan-rekan mereka. Mereka yang tidak tegas dan tidak kompeten secara sosial lebih cenderung menjadi korban perundungan.

Dan orang-orang yang memiliki banyak teman cenderung lebih kecil peluangnya untuk menjadi korban perundungan dibandingkan dengan yang memiliki teman sedikit.

Load More