Scroll untuk membaca artikel
Siswanto
Senin, 24 Oktober 2022 | 14:20 WIB
ILUSTRASI: Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/10/2022). [ANTARA FOTO/Ampelsa/hp].

SuaraBekaci.id - Investigasi terhadap penyebab gagal ginjal akut yang dialami sebagian anak balita di Indonesia sedang dilakukan otoritas terkait.

Gagal ginjal telah memicu kematian banyak anak balita di berbagai daerah.

Balita berinisial AA (2) asal Kebon Jeruk, Jakarta Barat, menjadi salah seorang yang meninggal dunia setelah dinyatakan gagal ginjal akut.

Pada awal September 2022, AA diserang batuk dan pilek, orang tuanya kemudian membawa dia ke puskesmas.

Baca Juga: Soal Gagal Ginjal Akut, IDI Minta Dokter di Aceh Edukasi Masyarakat

“Setelah di puskesmas dikasih obat biasa paracetamol, batuk pilek,” kata ayah dari AA, Linga Syahputra, Senin (24/10/2022).

Kondisinya tak kunjung membaik setelah diberi paracetamol. Tiga hari berikutnya, AA dibawa ke puskesmas lagi.

Linga mengatakan saat itu petugas memberikan dua pilihan. Pertama, AA dirujuk ke rumah sakit. Kedua, AA diberi obat.

Orang tua memilih obat dan dokter kemudian memberikan antibiotik sirop.

Setelah diberi antibiotik sirop, kondisi kesehatan AA bertambah memburuk.

Baca Juga: Kasus Gagal Ginjal Akut di Aceh, 22 Anak Meninggal Dunia

“Dikasihlah sirop juga, antibiotik sirop setelah itu sorenya sesak napas. Sesak napas sampai malam. Dia nggak bisa tidur sampai pagi,” kata Linga.

Nafsu makan AA kemudian hilang. “Siangnya makin sesak, nggak mau makan." Dia juga tidak kencing.

Khawatir terjadi apa-apa, orang tua membawa AA ke IGD RS Permata Hijau dan di sana darahnya dicek, kemudian di-rontgen. Dari situ keadaan AA semakin jelas.

"Akhirnya indikasi ada diinfeksi paru-paru sama penurunan fungsi ginjal,” kata Linga.

Dokter merujuk AA ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dia langsung mendapat perawatan di ruang PICU.

Dokter memberinya obat perangsang untuk buang air kecil, lantaran sejak kemarin AA tidak bisa buang air kecil.

Meski telah mendapat perawatan intensif, kondisi AA tidak kunjung membaik, tim dokter kemudian memutuskan AA dilakukan cuci darah.

“Cuci darah kedua itu agak mendingan agak membaik, setelah itu pindah ke ruang rawat. Nah selama dua hari di ruang rawat kondisinya menurun lagi,” kata Linga.

Jadwal cuci darah yang ketiga, AA terlambat sehari. Akibatnya, AA sempat tidak sadarkan diri dan jantungnya terhenti. Untuk menanganinya, dokter memasukkan selang ke paru-paru untuk memompanya.

“Setelah itu ada cuci darah keempat dalam keadaan nggak sadar setelah itu menurun aja kondisinya makin memburuk sampai akhirnya Jumat (23/9/2022) jam dua siang meninggal,” kata dia.

Linga mengatakan dokter memberitahu jika AA mengalami gagal ginjal akut. Tapi dokter belum mengetahui kenapa AA mengalami gagal ginjal akut.

“Belum diketahui yang ini tuh, belum ketahuan. Kalau gagal ginjal biasa kan ketahuan karena apa,” kata dia..

Kejadian luar biasa

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mendesak pemerintah Indonesia segera menetapkan kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan kematian pada anak sebagai kejadian luar biasa.

“Ini masalah jiwa, kita kecolongan tapi bukan berarti kegagalan itu kita biarkan. Dengan menyatakan KLB, pemerintah bisa segera memperbaiki, kalau ada yang tidak teridentifikasi bisa fatal ya,” katanya dalam diskusi daring “Misteri Gagal Ginjal Akut”, akhir pekan lalu.

Dicky menilai penetapan KLB justru akan semakin memudahkan pemerintah dalam menangani kasus gagal ginjal akut. Jika mengikuti prosedur KLB, pemerintah diperbolehkan untuk membentuk Satuan Tugas yang bisa mendapatkan data akurat terkait penyebab utamanya terjadinya lonjakan kasus gagal ginjal akut.

“Pemerintah sudah benar ada 14 rumah sakit rujukan yang di-cover BPJS, tapi di daerah untuk ke rumah sakit itu jauh sehingga terkendala dan ujungnya meninggal. Status KLB ini untuk membantu masyarakat di daerah,” katanya.

Dia menyatakan bahwa kasus gagal ginjal akut yang diduga kuat akibat kandungan dalam obat sirop tersebut, sudah memenuhi syarat penetapan KLB sesuai Permenkes Nomor 1501 Tahun 2010 tentang KLB. Terlebih dalam tiga dekade terakhir belum ditemukannya kasus outbreak gagal ginjal akut.

“Enam dari delapan poin (penetapan KLB) terpenuhi 6 dari 8 point terpenuhi. Pertama yang sangat mendasar dalam definisi WHO insiden yang tidak biasa dan juga ada peningkatan yang signifikan secara epidemiolog dari sisi waktu dan fatality rate,” ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mendorong pemerintah untuk melakukan investigasi secara mendalam terkait bahan obat sirop.

“Pemerintah harus melakukan investigasi yang mendalam untuk mencari pihak yang bertanggung jawab, mengapa sampai ada senyawa berbahaya melebihi ambang batas dalam obat sirop,” katanya dalam keterangan tertulis.

Menurut dia, penyelidikan mendalam itu dilakukan untuk mengetahui mengapa dan bagaimana cemaran berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol bisa ikut menyusup atau melebihi ambang batas toleransi, yang telah ditetapkan dalam obat sirup yang dikonsumsi masyarakat.

Dia berharap pemerintah harus memastikan apakah kondisi-munculnya zat berbahaya dalam obat sirop tersebut akibat adanya kelalaian atau ketidaksengajaan. Dia mencontohkan, adanya perubahan bahan baku tapi pihak produsen tidak melaporkan pada otoritas BPOM.

“Kalau ada pihak-pihak yang bersalah, baik dari sisi administrasi maupun dari sisi hukum, harus diberikan sanksi yang tegas,” katanya.

Selain itu, Handoyo mengusulkan agar pemerintah juga harus memperhatikan anak yang menjadi korban gangguan ginjal akut, baik yang sudah meninggal maupun yang saat ini masih dalam perawatan.

“Mungkin perlu diberikan santunan kepada keluarga korban serta menanggung biaya perawatan bagi anak-anak yang saat ini masih dirawat," katanya.

Handoyo mengingatkan setelah mengetahui penyebab penyakit gagal ginjal akut, pemerintah perlu membuka seterang-terangnya perusahaan mana saja, obat-obatan mana saja yang mengandung zat kimia berbahaya tersebut.

Badan Pengawas Obat dan Makanan memastikan bahwa 23 produk dari daftar 102 obat sirop yang dikonsumsi oleh pasien gagal ginjal akut progresif atipikal (acute progresive acute kidney injury) aman setelah dilakukan pengujian.

Kepala BPOM RI Penny K. Lukito mengatakan bahwa dari daftar tersebut 23 obat tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliseron/gliserol yaitu bahan-bahan pelarut dalam obat sirop.

"Dari 102 obat sirup itu ada 23 produk tidak menggunakan keempat pelarut tersebut, sehingga aman digunakan," katanya.

Sementara itu, terdapat juga pengujian tujuh produk dari daftar 102 obat yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan dinyatakan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.

Penny mengatakan tiga produk yang telah diuji dan dinyatakan mengandung etilen glikol dan dietilen glikol. Ketiga produk itu sebelumnya sudah dilaporkan BPOM telah mengandung cemaran EG dan DEG.

Obat yang telah dinyatakan aman oleh BPOM adalah Alerfed Syrup, Amoxan, Amoxicilinm, Azithromycin Syrup, Cazetin, Cefacef Syrup, Cefspan syrup, Cetirizin, Devosix drop 15 ml, Domperidon Sirup, Etamox syrup, Interzinc, Nytex, Omemox, Rhinos Neo drop, Vestein (Erdostein), Yusimox, Zinc Syrup, Zincpro syrup, Zibramax, Renalyte, Amoksisilin, dan Eritromisin.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan pada Jumat (21/10/2022) telah mengumumkan 102 merek obat sirop yang dikonsumsi oleh pasien gagal ginjal akut progresif atipikal.

Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahan polietilen glikol sebenarnya tidak berbahaya sebagai pelarut obat sirop selama berada pada ambang batas aman.

Namun, ketika formula campurannya buruk maka polietilen glikol bisa memicu cemaran EG dan DEG.

Sesuai Famakope dan standar baku nasional, ambang batas aman untuk cemaran EG dan DEG adalah sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.

Load More