SuaraBekaci.id - Nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Garuda Indonesia sedang di ujung tanduk, terancam ditutup. Terlilit utang Rp70 triliun membelenggu operasional industri penerbangan negara itu.
Pemerintah Indonesia telah menegaskan tidak mungkin membantu dalam penyertaan modal oleh sebab kondisi keuangan negara.
Terkini, Garuda Indonesia disebut sedang dalam posisi negosiasi dengan para kreditur dan lessor atau perusahaan penyedia jasa leasing atau penyewaan.
Melansir BBC News Indonesia, Staf Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, pemerintah tidak mungkin memberikan bantuan kepada Garuda Indonesia karena keuangan negara sedang fokus pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Baca Juga: Pemisahan Fungsi, Telkomsel Diminta Serahkan Semua Tower ke Telkom
"Jadi kita akan sangat-sangat bergantung pada negosiasi yang sedang dilakukan," imbuh Arya Sinulingga kepada BBC News Indonesia.
Karena itu ia berharap negosiasi tersebut berlangsung cepat atau tidak memakan waktu hingga tahunan. Sebab semakin lama, maka akan "memperparah kondisi maskapai" tersebut.
Sebab pemerintah, sambungnya, mustahil memberikan bantuan dana berupa penyertaan modal negara. Ini karena kas negara sedang diprioritaskan untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi.
"Kalau negosiasinya enggak tercapai, maka kita akan tutup [Garuda Indonesia]."
Arya menjelaskan, kondisi keuangan Garuda Indonesia "sudah lama merah".
Baca Juga: Ubah Skema Bisnis, Menteri BUMN Minta Telkomsel Serahkan Semua Tower ke Telkom
Penyebabnya kebijakan penyewaan pesawat yang dianggapnya tidak rasional dan adanya sejumlah rute penerbangan internasional yang justru merugikan.
"Ada pesawat yang terbang saja rugi."
"Makanya kita sudah minta Garuda lebih fokus ke penerbangan dalam negeri. Pangkas rute yang merugikan. Kecuali penerbangan internasional yang sehat dan gemuk."
Ia mengatakan opsi terakhir untuk menutup Garuda Indonesia adalah langkah realistis yang diambil pemerintah jika negosiasi buntu.
"Kita harus rasional. Mau APBN kita digerogoti hal begini atau enggak?"
Opsi Tutup Garuda Tak Dapat Dicegah
Sementara Pengamat penerbangan, Ziva Narendra Arifin beranggapan, opsi terakhir penutupan Garuda Indonesia tidak dapat dicegah.
"Ini bukan the end of the world, kita harus menerima realitanya," kata Ziva Narendra.
Dia juga mengatakan, jika Indonesia tidak lagi memiliki maskapai penerbangan nasional atau flag carrier, bukan menjadi indikasi lemahnya industri penerbangan di Indonesia.
Sebab beberapa negara seperti Amerika Serikat juga tidak memiliki maskapai penerbangan nasional.
Di dalam negeri, hilangnya Garuda Indonesia juga tidak akan berpengaruh besar.
"Efeknya lebih ke aspek psikologis industrinya, karena ini maskapai paling tua dan matang. Kok begini?"
Justru, baginya, peristiwa tersebut semestinya menjadi momentum untuk berbenah. Mulai dari isu duopoli dalam industri penerbangan domestik, infrastruktur, navigasi, birokrasi, termasuk investasi.
Hingga saat ini, katanya, investasi industri penerbangan di Indonesia termasuk 'high risk investment' dan dianggap tidak menarik oleh investor asing. Padahal sebagai negara kepulauan, peluang itu besar.
Jika Pemerintah Membantu Garuda Indonesia
Pengamat penerbangan Ziva Narendra Arifin juga mengatakan, kondisi keuangan Garuda Indonesia 'sudah berdarah-darah' atau terus merugi sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Kondisi itu, katanya, paling besar dipengaruhi oleh faktor internal. Yakni ongkos yang dikeluarkan untuk banyak komponen seperti sewa pesawat, perbaikan hingga transportasi kru pesawat, terlampau besar.
"Misal leasing pesawat, itu biayanya besar. Lebih besar daripada maskapai yang mengoperasikan jenis pesawat yang sama. Jadi artinya dari sisi strategi pengelolaan keuangannya kurang praktis dan banyak pengeluaran yang sifatnya kecil tapi banyak. Seperti transportasi kru, sewa jasa pihak ketiga, itu besar sekali biayanya," ujar Ziva Narendra kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (24/10/2021).
"Jadi titik biaya-biaya kecil banyak dan terus menggunung setelah puluhan tahun," sambungnya.
Sedangkan faktor eksternal atau pandemi Covid-19, katanya, hanya menambah beban maskapai penerbangan nasional ini sebesar 15 persen - 20 persen.
Catatannya, terakhir kali Garuda Indonesia membukukan keuntungan pada 2015 dan 2017, tapi itupun 'tipis sekali'.
Sementara pemerintah, sambungnya, telah mengisyaratkan untuk tidak membantu dalam bentuk penyertaan modal negara.
Selain karena anggaran negara yang sedang fokus pada pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Pun, kalau pemerintah terdesak untuk menggelontorkan bantuan uang, tidak akan sanggup untuk menyelamatkan Garuda dari timbunan utang.
"Kalau diberikan Rp7 triliun dari beban utang, itu enggak signifikan. Uang itu akan habis buat bayar utang ke Pertamina atau pihak ketiga lain. Tujuh triliun itu hanya akan jadi uang hangus. Bukan menyelamatkan," tegasnya.
"Paling enggak 30 persen kalau mau menggelontorkan. Kalau tidak, akan sulit."
Ia juga memprediksi Garuda Indonesia akan membutuhkan waktu 20 tahun untuk kembali ke kondisi normal.
Catatan pengamat, terakhir kali Garuda Indonesia membukukan keuntungan pada 2015 dan 2017, tapi itupun 'tipis sekali'.
Itu mengapa dia menilai, opsi terakhir untuk menutup Garuda Indonesia "tidak bisa dicegah".
Berita Terkait
-
Biaya Provisi BNI Melonjak 50 Persen, Sinyal Kredit Macet Sritex Mengintai?
-
Menteri Airlangga Puji Langkah BRI Hapus Utang UMKM, Ribuan Pelaku Usaha Terbantu!
-
Kiper Diaspora dari Jerman Sudah Tiba di Indonesia, Langsung Gabung Skuad Garuda
-
UMK Binaan Berpeluang Go Nasional Berkat Local Pride Spot
-
Petrokimia Gresik Garap Proyek Dekarbonisasi
Terpopuler
- Dokter Richard Lee Dikonfirmasi Mualaf, Istri Sempat Kasih Peringatan: Aku Kurang Setuju...
- Akui Tak Nyaman, Reaksi Netizen Malaysia Lihat Foto Gibran Blonde Jadi Sorotan: Baru Kali Ini Wapres Diginiin..
- Keputusan Mualaf Ditentang Keluarga, Richard Lee Tak Peduli: Saya Gak Perlu Izin Orangtua
- Diduga Sindir Desy Ratnasari Eks Pacar Irwan Mussry, Adab Maia Estianty Jadi Perbincangan
- Susi Pudjiastuti Minta Maaf Usai HP Dipakai Cucu, Netizen: Yang Gak Wajar Itu Membiarkan Anak Mainin Negara Bu..
Pilihan
-
Cerita Nurhayati Subakat Pendiri PT Paragon yang Tak Pernah Flexing Kekayaan: Tergerak oleh Ceramah Buya Hamka
-
Dear Timnas Indonesia, Patrick Kluivert vs Ronald Koeman Berebut Ian Maatsen
-
Pantas Rizky Ridho Termahal di Liga 1, Statistik 'Mengerikan' Ini Jadi Jawabannya
-
Biaya Provisi BNI Melonjak 50 Persen, Sinyal Kredit Macet Sritex Mengintai?
-
4 Kiper Keturunan Indonesia Belum Dinaturalisasi, Siapa Jadi Cadangan Maarten Paes?
Terkini
-
17 Jam Banjir Kepung Bekasi, Warga Pondok Ungu Ngeluh Gak Bisa Cari Nafkah
-
Tewas Tertimpa Tower di Bekasi, Jasad Rustadi Berhasil Dievakuasi Setelah 2 Hari
-
Diguyur Hujan Deras, Bekasi Dikepung Banjir: Ada 14 Titik Tertinggi 1 Meter
-
Sederet Kendala Proses Evakuasi Korban Tewas Tertimpa Beton Tower di Bekasi
-
Terjepit Beton Tower Raksasa, Evakuasi Korban Tewas di Bekasi Terkendala Ini