Scroll untuk membaca artikel
Lebrina Uneputty
Rabu, 13 Oktober 2021 | 13:17 WIB
Amar Alfikar. (BBC)

Apa yang terjadi pada diri saya ini sudah ciptaan-Nya yang sempurna. Allah tidak salah menjadikan saya sebagai diri saya yang seperti ini karena Allah tidak mungkin keliru.

Yang mungkin tidak sempurna adalah cara kita melihat diri dan cara kita melihat orang lain, terutama melihat keragaman.

Bagi saya yang terpenting adalah apa yang bisa saya lakukan untuk perjuangan kehidupan saya ke depan, dan juga untuk komunitas trans secara keseluruhan.

Saya bekerja dalam bidang aktivisme yang melibatkan ragam kelompok, terutama minoritas. Kemudian saya diterima beasiswa untuk program MA Theology and Religion di University of Birmingham di Inggris.

Saya ingin belajar banyak dan lebih punya dasar dan pengetahuan yang lebih luas lagi untuk agama dan teologi, untuk memperkuat aktivisme

Saya ingin sekali melihat ada lebih banyak ruang-ruang agama di mana agama diajarkan dan dipraktekkan dengan cara yang humanis.

Ketika kuliah S1, saya hampir di-DO karena identitas gender saya. Waktu itu saya sudah transisi tapi belum sidang ganti nama. Kampus mensyaratkan kalau ganti harus sidang, dan ternyata prosesnya bertahun-tahun.

Birokrasi ganti nama sangat sulit. Ganti nama adalah hak warga negara, tapi perspektifnya masih phobia terhadap trans, jadi dipersulit dalam berbagai hal. Meskipun akhirnya bisa, tapi perspektif hukum birokrasi dan administrasinya tidak inklusif maka sulit untuk orang seperti saya.

Saya juga banyak mengalami diskriminasi, misalnya ketika saya mau salat di masjid dan orang tahu saya trans, mereka akan menghindar atau mengusir karena menganggap saya perempuan dan tidak boleh salat di shaf laki laki.

Meski demikian, saya tidak bisa tutup mata bahwa yang terjadi pada saya adalah privilese besar bagi orang trans, karena mayoritas trans diusir dari rumah.

Load More