Scroll untuk membaca artikel
Lebrina Uneputty
Rabu, 13 Oktober 2021 | 13:17 WIB
Amar Alfikar. (BBC)

Saya belajar dari Ibu saya yang selalu menghadapi orang lain dengan cara yang sederhana dan legowo menghadapi orang lain. Ibu tidak menanggapi orang lain dengan emosi atau marah.

Ada momen-momen di mana ibu menghadapi pertanyaan orang lain dengan cara jenaka. Misalnya, ada momen ketika di depan saya, Ibu ditanya, "Mana anak perempuannya?" Ibu menunjuk saya dan menjawab, "Ini suaminya", seolah-olah saya adalah suami diri saya sendiri.

Ada momen ketika saya transisi, Bapak selalu minta saya antar beliau. Ketika pengajian, ceramah, bertemu santri di daerah, beliau percaya diri dan tidak malu membawa saya yang sudah transisi.

Bapak pernah mengatakan kepada santri-santri, "Dia sekarang begini, tapi jangan dihina, ini adalah bagian dari takdir Allah untuk saya dan juga untuk anak saya. Kalau saya menolak anak saya, maka saya menolak takdir Allah untuk saya dan keluarga saya".

Santri di pesantren keluarga pun pada awalnya kaget. Semua orang pasti kaget, saya bohong kalau mereka nggak kaget.

Dan orang menerima pun pasti berproses, tidak mungkin orang menerima orang lain yang berbeda dalam sekali duduk. Ada proses perjumpaan, ada dialog.

Dari pengalaman saya, banyak orang hanya penasaran. Kalau sudah ngobrol, mau tak mau sering bersosialisasi, akhirnya akan biasa saja.

Berkali-kali orang datang mendoakan saya, teman bapak saya ibu saya, mereka Kyai dan Bu Nyai mendoakan saya. Saya mengamini karena doa mereka adalah wujud kasih sayang, wujud bahwa mereka peduli.

Bapak Ibu saya selalu tegar menghadapi hujatan, dan dari mereka juga saya belajar untuk cuek. Orang yang menghujat sebenarnya gelisah dengan kebenciannya sendiri, itu sebenarnya masalah dia dengan dirinya.

Semua orang punya kesempurnaannya masing-masing dan kita tidak bisa menyamakan versi sempurna menurut kita harus sama dengan orang lain.

Load More