CLBK Diklaim Mampu Hindarkan Nakes dari Risiko Penyakit Akibat Kerja, Begini Cara Kerjanya

Kalau kita berhenti pada pelaporan saja dan tidak dilakukan surveilance, itu kemungkinan ke depannya akan ada risiko terjangkit HIV, Hepatitis B, Hepatitis D," ujarnya.

Ari Syahril Ramadhan
Jum'at, 04 November 2022 | 17:19 WIB
CLBK Diklaim Mampu Hindarkan Nakes dari Risiko Penyakit Akibat Kerja, Begini Cara Kerjanya
ILUSTRASI - Petugas menunjukkan jarum suntik yang sudah dihancurkan saat uji coba APJS di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (18/3/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraBekaci.id - Tenaga kesehatan atau nakes tak lepas dari risiko kecelakaan kerja. Salah satunya adalah tersayat atau tertusuk oleh jarum.

Tertusuk benda tajam nonsteril tentu berbahaya bagi para nakes. Mereka brpotensi terpapar penyakit menular yang diderita oleh pasien.

Untuk itu, Dokter Spesialis Okupasi Astri Mulyantini Monik mengingatkan nakes untuk menghindari risiko penyakit akibat kerja (PAK) karena needle stick sharp injury melalui konsep CLBK atau Cuci, Lapor, Berkunjung dan Kenali.

“Cuci luka yang tersayat atau tertusuk dengan air mengalir atau larutan saline,” katanya dikutip dari Antara, Jumat (4/11/2022).

Baca Juga:Bikin Jantungan! Video Rizky Billar Hendak Ceburkan Baby L ke Kolam, Warganet: Bercandanya Serem Banget

Setelah mencuci luka, korban dapat melaporkan kepada supervisor di ruangan untuk kemudian berkunjung ke layanan kesehatan IGD atau poli. Sera mengenali kasusnya agar serta pemberian rekomendasi oleh tim PAK.

Astri menyampaikan bahwa ketika nakes mengalami kecelakaan kerja, maka nakes dan tim PAK harus mengetahui sumber pajanan dari luka. Sumber pajanan bisa berasal dari benda tajam non steril, benda tajam infeksius dan benda infeksius tapi tidak diketahui status infeksiusnya.

Jika tertusuk akibat benda tajam non steril, tatalaksananya hanya sebatas perawatan, pelaporan, pengklaiman biaya dan tidak perlu dilakukan rekomendasi berupa pemeriksaan lebih lanjut. Namun, jika kecelakaan kerja terjadi akibat benda tajam infeksius, maka korban harus melihat riwayat Hepatitis B, Hepatitis D dan HIV dari sumber pajanannya yang dalam hal ini adalah pasien.

“Kalau kita berhenti pada pelaporan saja dan tidak dilakukan surveilance, itu kemungkinan ke depannya akan ada risiko terjangkit HIV, Hepatitis B, Hepatitis D. Jadi penting sekali diketahui sumber pajanan dan tata laksana lanjutan,” ucap dia.

Ia juga mengingatkan akan pentingnya kehadiran Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) yang terdiri dari dokter okupasi, petugas PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) dan unit pelayanan seperti IGD dan Poli serta pelayanan untuk vaksinasi. Komite tersebut nantinya akan melakukan indentifikasi, rekomendasi, surveilance hingga pelaporan jika terjadi dugaan penyakit akibat kerja.

Baca Juga:Profil Soeharto Sastrosoeyoso, Dokter Pencetus IDI Diberi Gelar Pahlawan Nasional

“Misalnya terjadi satu kasus tertusuk benda tajam 2 tahun yang lalu dan kemudian menderita Hepatitis B. Nah, kita bisa duga ini akibat kecelakaan kerja sehingga kita bisa melakukan dan menetapkan 7 langkah diagnosis okupasi,” jelasnya.

Selain itu, pelaporan kecelakaan akibat kerja juga diperlakukan untuk mempermudah klaim biaya pengobatan. Oleh karena itu ia mengimbau nakes melindungi diri dari risiko penyakit akibat kerja dengan membekali diri dengan vaksin Hepatitis serta memiliki kesadaran tinggi untuk menilai jika memiliki risiko penyakit akibat kerja.

“Jika belum tervaksinasi hepatitis atau tidak lengkap, penangannya beda. Jika tidak lengkap atau belum pernah vaksin, itu akan diberi immunoglobulin yang harganya sudah belasan juta. Ketika sudah terlindung dengan vaksinasi Hepatitis, itu tata laksananya lebih mudah dan lebih aman,” ucap dia. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini