Tanggapan Pakar Psikologi Forensik soal Tersangka Pemerkosaan Ingin Nikahi Korbannya

Keinginan AT menikahi korbannya mendapatkan tanggapan dariPsikolog Forensik Reza Indragiri Amriel

Antonio Juao Silvester Bano
Kamis, 27 Mei 2021 | 21:21 WIB
Tanggapan Pakar Psikologi Forensik soal Tersangka Pemerkosaan Ingin Nikahi Korbannya
Anak anggota DPRD Bekasi tersangka kasus pemerkosaan AT (21) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Aula Polres Metro Bekasi Kota.[Suara.com/Imam Faishal]

SuaraBekaci.id - Tersangka kasus pemerkosaan anak di bawah umur, AT (21) telah ditahan petugas kepolisian Polres Metro Bekasi Kota setelah diserahkan langsung oleh ayahnya,  Anggota DPRD Kota Bekasi Ibnu Hajar Tanjung.

Baru-baru ini, keluarga AT melalui kuasa hukumnya, Bambang Sunaryo mengungkapkan  memiliki niat ingin menikahkan AT dan PU (15), korban.

Teranyar, keinginan dari keluarga AT ditolak keluarga PU. Ayah PU, D (42) menginginkan agar kasus tersebut diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Keinginan AT menikahi korbannya mendapatkan tanggapan dari Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel. Reza Indragiri memberikan tanggapan mengenai keinginan AT (21) untuk menikahi korbannya.

Baca Juga:Bupati Bekasi Ajak Kades Terpilih 'Tancap Gas' Siapkan Program Pembangunan

Berkut tanggapan Reza Indragiri mengenai hal tersebut.

Anak-anak berumur 15 tahun pada dasarnya sudah memiliki kematangan seksual. Organ reproduksinya sudah matang. Hasrat seksualnya juga sudah muncul. Jika tidak terpandu, mereka juga bisa berperilaku seksual yang berisiko. Dari situ kita bisa bayangkan bahwa orang berumur 15 tahun, meski masih termasuk dalam rentang usia anak-anak, sebetulnya sudah bisa berkehendak melakukan hubungan seksual. Dengan kata lain, dari sisi psikologis, seks mau sama mau pada usia tersebut memang mungkin saja terjadi.

Tapi dari sisi hukum, dengan latar psikologis apa pun, seks dengan anak tetap tak bisa dibenarkan. Seks dengan anakk, dari kacamata UU Perlindungan Anak, tetap merupakan kejahatan. Secara positif, itu merupakan perlindungan ekstra bagi anak. Tapi UU yang sama tutup mata terhadap kompleksitas perkembangan seksual anak-anak yang sesungguhnya berbeda antara usia satu dan usia lainnya. Sikap apriori UU tersebut bisa menjadi kendali bagi tegaknya keadilan, di samping membuat program rehabilitasi--andai yang berlangsung benar-benar kejahatan seksual--menjadi kurang tepat sasaran

Lalu, patutkah mereka dinikahkan?

Kalau dari sisi hukum, karena dikunci sebagai pidana, maka tidak patut jika mereka dinikahkan. UU Perkawinan pun menetapkan 19 tahun sebagai batas usia minimal menikah.

Baca Juga:6 Tempat Wisata di Depok Ini Wajib Banget Dikunjungi

Tapi dengan mencermati kondisi psikologis yang tadi saya kemukakan, andai yang terjadi adalah seks mau sama mau (masyarakat menyebutnya sebagai perzinaan, bedakan dengan definisi hukum), maka menikahkan mereka patut dipertimbangkan sebagai solusi. Batas usia nikah berdasarkan UU Perkawinan bisa disiasati dengan izin pengadilan.

Bagaimana jika kasusnya kadung diproses polisi?

Polisi memiliki kewenangan diskresi. Walaupun kejahatan seksual terhadap anak bukan merupakan tindak pidana yang boleh ditangani lewat diversi, tapi ketentuan UU itu bisa dikesampingkan oleh polisi dengan kewenangan diversinya semata-mata demi terealisasinya tujuan paling luhur dalam penegakan hukum. Apalagi Kapolri menyatakan komitmen ketujuhnya: pelaksanaan keadilan restoratif dan problem solving.

Tapi kalau memang perkosaan, baik dari sisi hukum maupun psikologis, patutlah diproses secara pidana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini