Galih Prasetyo
Jum'at, 30 September 2022 | 13:04 WIB
Heru Atmodjo, perwira AURI yang menjadi salah satu saksi sejarah peristiwa G30S (Istimewa)

Heru Atmodjo dalam paparannya kemudian menyebut bahwa pada periode 1965, di tubuh Angkatan Darat terjadi friksi. Ada faksi loyalis Soekarno, kelompok loyalis Jenderal AH Nasution dan kelompok lainnya.

Friksi di tubuh Angkatan Darat ini yang kemudian kata Heru coba dimainkan oleh petinggi CIA. Menurut Heru, dari informasi yang ia peroleh sebagai perwira intelejen saat itu, rapat di Filipina akhirnya memutuskan merancang konflik antara PKI dan Soekarno dengan memanfaatkan fraksi di tubuh AD.

"Diputuskan agar PKI dibuat ke lubang kejatuhannya sendiri. PKI yang berambisi terhadap kekuasaan serta konflik menajam dengan AD digunakan CIA untuk merancang konflik dengan Soekarno (peristiwa 1965). Kemudian Amerika Serikat memulai rancangannya dengan menyebarkan berbagai macam isu seperti isu Dewan Jendral. Menurut saya itu bentuk rekayasa karena setiap informasi intelejen harus dilihat siapa sumber dari informasi tersebut," jelas Heru.

Isu Dewan Jenderal ini yang kemudian mendorong perwira di pasukan Cakrabirawa, Letkol Untung untuk menculik para Jenderal di Jakarta pada malam 1 Oktober 1965. Heru menampik bahwa Dewan Jenderal itu kemudian dibentuk oleh Jenderal Ahmad Yani.

"Memang ada yang disebut Dewan Pertimbangan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas membuat evaluasi di dalam menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan pangkat jenderal. Alangkah bodohnya Pak Yani jika beliau yang membuat Dewan Jenderal tersebut karena beliau dulu pada masa perlawanan terhadap PRRI/PERMESTA adalah komandan yang tidak menyetujui pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Menguni," jelas Heru.

Isu Dewan Jenderal ini terus bergulir di tengah perwira muda AD yang menjadi loyalis Soekarno. Isu ini bertambah panas saat kemudian muncul rumor Soekarno idap penyakit keras.

"Perwira muda di tubuh AD pun mengadakan rapat. Mereka adalah Kolonel Latief, Letkol Untung, Kapten Wahyudi serta dua orang yang mengaku utusan Ketua CC PKI DN Aidit, yaitu Syam dan Pono,"

"Kemudian isu yang santer didengar adalah tanggal 5 Oktober 1965 Dewan Jendral tersebut akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Kemudian perwira muda progresif ini melakukan inisiatif untuk menghadapkan jenderal-jenderal ke Bung karno sebelum tanggal 5 hidup atau mati," paparnya.

Munculnya isu Dewan Jenderal ini juga dibarengi dengan telegram rahasia dari Kementerian Luar Negeri Inggris dengan judul 'The local friend army'. Ditegaskan oleh Heru, sebagai perwira intelejen, ia membantah keabsahan dokumen tersebut.

Baca Juga: Heboh PKI Siapkan Dana Rp 5 Triliun untuk Presiden Jokowi 3 Periode, Begini Faktanya

"Pada akhir Mei 1965, dokumen rahasia yang dikirim Dubes Inggris ke Kementerian Luar Negeri Inggris berisi armada laut Inggris akan menyerang Indonesia dengan bantuan tentara teman kita di Indonesia,"

"Dokumen ini, menurut saya sebagai seorang intelejen, memang otentik (A1). Saya melihat adanya perbedaan mengenai cara penulisan. Di dokumen berbentuk telegram itu tertulis the local friend army dengan tulisan tangan. Menurut saya tulisan tangan “the local friend army” sangat tidak otentik," jelas Heru.

Peran Heru Atmodjo dan AURI di Geger 1965

Menurut Heru, setelah banyaknya isu bermunculan sebelum peristiwa berdarah 1 Oktober 1965, pihak Angkatan Udara (AURI) mendapat banyak serangan. Salah satunya perisiwa ledakan gudang logistik AURI di Jalan Iswahyudi pada 9 April 1965.

Peristiwa ledakan gudang logistik ini kata Heru merupakan sabotase. Pasca perisiwa itu, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU) Omar Dhani kemudian meminta untuk adanya penambahan personel mengantisipasi peristiwa sama terulang.

"Perekrutan anggota baru membutuhkan waktu dan biaya yang lama dan tidak sedikit. Maka diputuskan untuk merekrut anggota baru melalui sukarelawan-sukarelawan Dwikora dan Trikora dulu. Mereka kemudian ditempatkan di Kebon Karet, Pondok Gede dan dilatih oleh Mayor udara Suyono (Kepala Staff teritorial udara di seluruh wilayah Indonesia)," jelas Heru.

Load More