Scroll untuk membaca artikel
Galih Prasetyo
Sabtu, 18 Juni 2022 | 18:46 WIB
Suporter Persib Bandung menyalakan flare usai pertandingan Persebaya Surabaya melawan Persib Bandung pada Group C Piala Presiden 2022 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, Jawa Barat, Jumat (17/6/2022). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/wsj.

SuaraBekaci.id - Awan mendung kembali menggelayut sepak bola nasional. Padahal beberapa pekan ke belakang, publik sepak bola tengah bergembira dengan lolosnya timnas Indonesia ke Piala Asia 2023.

Kegembiraan publik tidak hanya timnas lolos, namun juga dibuka kembalinya turnamen pramusim, Piala Presiden 2022 dengan kehadiran suporter.

Pandemi Covid-19 dua tahun terakhir memaksa mereka yang bisa berjingkrak dan berteriak di tribun penonton terpaksa menjadi suporter layar kaca.

Setelah PSSI dan PT LIB mengumumkan Piala Presiden 2022 bisa ditonton langsung suporter, kegembiraan itu membuncah. Suporter ingin segera melepas energi mereka di stadion, memberikan yang terbaik untuk tim kesayangan.

Baca Juga: Dua Bobotoh Meninggal di GBLA, Nick Kuipers: Nyawa Terlalu Mahal untuk Sepak Bola

Nahas kemudian, kemarin, Jumat 17 Juli 2022, kompetisi Piala Presiden 2022 tercoreng. Baru satu pekan kompetisi ini berlangsung, dua orang meninggal dunia.

Dua orang bobotoh tewas di Stadion GBLA saat akan menonton laga Persib vs Persebaya grup C Piala Presiden 2022. Tewasnya dua bobotoh ini pun jadi duka mendalam bagi insan sepak bola, khususnya para pendukung Persib.

Dua orang yang tewas itu adalah Asep Ahmad Solihin yang merupakan warga Cibaduyut, Jawa Barat dan Sopiana Yusup, seorang warga Bogor.

Menurut keterangan pihak kepolisian, dua orang ini menjadi korban karena membeludaknya suporter di Stadion GBLA.

"Dugaannya itu adalah tidak sabar ingin masuk, terburu-buru. Padahal sudah diimbau agar antre dan antrean-nya juga sudah ada," kata Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Aswin Sipayung.

Baca Juga: Dua Bobotoh Meninggal Dunia, Ridwan Kamil: Tidak Ada Sepak Bola yang Lebih Berharga daripada Nyawa Manusia

Mengacu pada keterangan dari Akmal Marhali di unggahan Instagram pribadinya, @akmalmarhali20, dua orang bobotoh ini merupakan korban tewas ke-78 di sepak bola Indonesia sejak 1994.

"Menurut data SOS, Sopiana dan Solihin merupakan korban ke-77 dan 78 yang meregang nyawa sejak Liga Indonesia digelar pada 1994," tulis Akmal seperti dikutip Suara Bekaci, Sabtu (18/6).

Ditegaskan oleh Akmal bahwa kondisi ini tak boleh dipandang sebelah mata. Harus ada penanganan lebih serius agar insiden serupa tidak terulang di masa depan.

Menurut Akmal, tewasnya dua orang bobotoh tersebut menjadi tanggung jawab panitia pelaksana (Panpel). Ia pun berharap ada hukuman berat yang dijatukan kepada Panpel.

"Panitia harus bertanggung jawab atas kejadian ini dan diberikan sanksi tegas dan berat," tulis Akmal.

Lebih jauh Akmal mengatakan bahwa PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku panitia pelaksana tidak bisa menjalankan SOP dengan benar.

Pihak PT LIB tidak bisa mengantisipasi kemungkinan adanya kehadiran massa suporter dengan jumlah lebih besar. Apalagi laga Persib vs Persebaya merupakan Laga Klasik yang punya rekam jejak sejarah panjang di sepak bola Indonesia.

"Terlalu euforia sepak bola boleh pakai penonton dan melupakan aturan," kata Akmal.

Apakah Kejadian Serupa di Masa Depan Tak Terulang?

Merujuk pada format KBBI, suporter diartikan sebagai orang yang memberikan dukungan, sokongan, dan sebagainya dalam sebuah pertandingan olahraga.

Dikerucutkan pada sepak bola, arti dari suporter jika melihat dari pernyataan Daniel L Wann, penulis buku The Psychology and Social Impact of Fandom merupakan pribadi-pribadi yang aktif secara fisik, politik, dan sosial untuk klub sepak bola tertentu.

Artinya peran seorang suporter di klub sepak bola tak sebatas berteriak dan bernyanyi sepanjang 2x45 menit namun bersifat lebih dinamis.

Mereka jelas secara fisik datang ke stadion untuk memberi dukungan penuh kepada klub yang dicintai, namun juga di lain sisi secara politik suporter bisa memberikan suara saat ada permasalahan di klub tersebut.

Lebih jauh secara masif, suporter mampu melakukan gerakan sosial di kala kondisi klub yang mereka cintai tengah dirudung problematika.

Posisinya yang bersifat dinamis tersebutlah yang kemudian membuat suporter sepak bola memiliki nilai penting sebenarnya untuk pemain dan klub atau dalam bahasa sepak bolanya, mereka ialah pemain ke-12 saat klub bertanding.

Atas dasar ini yang akhirnya membuat istri dari Alm Ayi Beutik, Mia Beutik di akun Instagram miliknya mengatakan,

"Innalilahi wa inna ilaihi rojiun. Semua hrs dievaluasi. untuk saat ini tolonglah jangan anti kritik terbuka dengan semua masukan karena kami bobotoh bukan hanya konsumen tp kami "pemain ke-12" tulisnya.

Kembali pada kasus tewasnya dua bobotoh, Akmal menegaskan bahwa kebijakan jelas dan terarah harus segera oleh PSSI.

Regulasi suporter kata Akmal menjadi penting. PSSI menurutnya bisa menduplikasi Football Spectator Act (FAS) yang diberlakukan di Inggris pada 1989 untuk mencegah holiganisme.

Tidak itu saja dalam aturan tersebut, diatur Badan Otoritas Lisensi, yang bertugas memĀ­beri, atau mencabut izin sebuah stadion untuk menyelenggarakan pertandingan.

Namun di luar juga yang tak kalah penting ialah bagaimana di tingkatan suporter juga tumbuh empati. Suporter harus sadar bahwa mereka juga manusia dan manusia menurut Robert Herber Mead, seorang sosilog merupakan mahluk yang mengedepankan mind, self, dan society atau bahasa familiarnya ialah akal budi.

Load More