Scroll untuk membaca artikel
Galih Prasetyo
Selasa, 29 Maret 2022 | 18:24 WIB
Pawang hujan Rara saat beraksi di MotoGP 2022 Mandalika. (Twitter/@MotoGP)

SuaraBekaci.id - Beberapa waktu lalu sosok pawang hujan di MotoGP Mandalika menjadi sorotan banyak pihak. Ada pihak yang pro, namun tak sedikit pula yang kontra dengan kehadiran pawang hujan Rara Isti.

Mereka yang kontra menyebut bahwa apa yang dilakukan pawang hujan Riri Isti telah melanggara syariat dalam agama Islam.

Terkait polemik tersebut, budayawan Bekasi, Aki Maja yang ditemui Suara Bekaci, Selasa (28/3/2022) menganggap bahwa masyarakat di Indonesia harus bisa melihat sesuatu tradisi dengan kacamata berbeda.

"Menurut saya hal ini suatu tradisi di masyarakat kita, memang orang kebanyakan melihat versi dari kacamata yang berbeda," ujarnya.

Baca Juga: Puji Aksi Rara di MotoGP, Jubir PSI Bongkar Alasan Formula E Tak Butuh Pawang Hujan

Selain sebagai tradisi, aktifitas tersebut juga dinilai merupakan upaya suatu kepercayaan dalam menggapai harapan yang di inginkan, dan semua kepercayaan diyakini memiliki caranya masing-masing.

"Dalam Islam juga kalo kita lagi dilanda kekeringan pasti kita lakukan doa bersama di tanah lapang, istigosah meminta hujan, ada juga tradisi atau ritual orang menolak turunnya hujan, nah ini emang tradisi dimasyarakat kita udah jaman dulu ya," paparnya.

Aktifitas tersebut dinilai suatu hal yang biasa saja terjadi dalam ruang lingkup masyarakat secara umum.

"Kita juga pasti kalo misalkan ada sesuatu hal acara penting pasti selalu meminta kepada pencipta agar tidak diturunkan hujan di lokasi kita, supaya acara bisa berjalan dengan lancar," ungkapnya.

Sikap kontra dari masyarakat dinilai belum bisa menghargai suatu kepercayaan secara luas di tiap wilayah.

Baca Juga: Rara Pawang Hujan Mendadak di Telepon Dahlan Iskan Malam Jumat Kliwon, Ada Apa?

"Masalahnya di sini, tiap orang kan punya tradisi kepercayaannya berbeda-beda, kalo kita sebagai muslim untuk meminta tidak diturunkan hujan pasti berdoa sama Tuhan, Pencipta yang Maha Esa, kalo kepercayaan lain bisa aja berdoanya tidak seperti kita (muslim)," jelas Aki Maja.

Tiap tradisi juga memiliki ikon yang berbeda dalam penerapannya. Ikon tersebut tentunya sudah digunakan secara turun temurun dari kepercayaan leluhur.

"Tidak ada unsur musyrik saya rasa disitu, ritual kaya kemarin mba Rara menggunakan lonceng gitu, orang Chinese kalo memanggil sesuatu juga pasti bunyikan lonceng kan, menurut saya itu hanya ikon atau simbolik suatu tradisi saja sesuai kepercayaan," papar Aki Maja.

Aki Maja juga beranggapan tiap tradisi bisa dilakukan apabila memiliki prasyarat dan prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu.

"Kaya kita di muslim kan meminta sesuatu juga pakai doa, doa itu juga sebagai prasyarat, gamungkin kita diem aja. Ada juga orang memanggil sesuatu dengan bakar kemenyan simbolik nya wewangian," ungkapnya.

Langkah dari melakukan aktifitas tersebut tentunya memiliki tujuan untuk melestarikan budaya tradisi yang sudah dipercaya turun temurun dari suatu kelompok tertentu.

"Banyak yang bilang hal ini membuat negara kita menjadi mundur ke masa lalu, menurut saya hal ini justru melestarikan budaya dari nenek moyang, kalau itu nilainya kebaikan, dan tidak ada unsur-unsur keluar dari agama," tutupnya.

Kontributor : Rendy Rutama Putra

Load More