Scroll untuk membaca artikel
Antonio Juao Silvester Bano
Minggu, 30 Mei 2021 | 16:39 WIB
Pendeta Gilbert Lumoindong.[YouTube/Gilbert Lumoindong]

SuaraBekaci.id - Pendeta Gilbert Lumoindong memberikan tanggapan mengenai sikap dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengenai tidak lolosnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan.

Pendeta Gilbert menyampaikan bahwa dirinya merasa aneh dengan sikap dari Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom mengenai pernyataan tentang 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK.

Pendeta Gilbert menilai bahwa sikap ketua umum PGI keliru. Karena, beberapa pengurus tidak dilibatkan dan PGI mulai masuk pada ranah politik praktis.

"Beberapa menit setelah menerima 75 orang, perwakilannya yang tidak lolos, di dalamnya ada Novel Baswedan, tiba-tiba beliau langsung memberikan pernyataan. Itu adalah kekeliruan, beberapa pengurus merasa tidak dilibatkan, beberapa sinode gereja tidak dilibatkan dan ini bahayanya, karena PGI mulai masuk pada politik praktis," katanya dalam potongan video dari akun YouTube Pendeta Gilbert yang dibagikan akun twitter @Namaku_Mei, Minggu (30/5/2021).

Baca Juga: Dicap Anti Pancasila, Penyidik KPK Putra Lampung: Tembak Mati Saja

Dia kemudian menyatakan, bahwa langkah yang diambil ketua umum PGI telah melewati batas.

"Sebagai hamba tuhan yang mengasihi wadah ini, saya merasa, yang saya hormati ketua umum PGI, melewati garis batas. Saya melihat, ketua umum PGI mulai bertindak seperti ketua LBH," ujarnya.

Sebelumnya, dilansir dari Hops.id -- jaringan Suara.com, dalam rilis yang diunggah soal sikap terhadap penonaktifan 75 pegawai KPK dan TWK, PGI menyadari bahwa itu bisa menjadi polemik dan menuai kecaman, bahkan di kalangan komunitas Kristen sendiri.

Selain itu, PGI dalam tulisannya juga menyadari kalau mereka dinilai berpihak terhadap kelompok tertentu, serta mencampuri urusan di luar persoalan gereja. Maka itu, PGI mengeluarkan beberapa poin pertimbangan terhadap kasus KPK tersebut yang diunggah dalam situs resminya.

Dalam tulisannya, PGI mengatakan bahwa mendukung KPK sejak awal pembentukan, hingga saat lembaga tersebut ingin dilemahkan dan menyebut sebagai lembaga terbaik dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.

Baca Juga: Gelar Ruwatan di Gedung KPK, Belasan Orang Tabur Sesajen Kembang 7 Rupa

PGI juga menyinggung soal istilah yang kerap melekat pada KPK belakangan ini seperti ‘Taliban’, ‘kadrun’ dan lainnya, yang kebenarannya dinilai tak bisa ditakar.

“Tidaklah mengherankan saat PGI bersentuhan dengan polemic KPK saat ini maka secara otomatis ia terhisap dalam jebakan stigma kadrun atau Taliban. Persentuhan ini tak bisa dihindari karena kebertindihan isu dan kepentingan yang menyertai masalah ini,” lanjut PGI.

Lebih lanjut, PGI juga tak menutup mata soal kemerosotan KPK beberapa tahun belakangan. Maka itu, PGI mendukung sepenuhnya terhadap upaya pembenahan KPK, bila kondisinya bisa diurai secara transparan.

PGI juga mendukung soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) karena itu adalah perintah undang-undang. Tapi, yang dikritisi adalah soal pelabelan ‘Taliban’, ‘kadrun’ hingga ‘intoleran’ dengan TWK.

Maka itu, PGI meminta pemerintah untuk menjelaskan secara transparan parameter TWK yang digunakan sehingga masyarakat tidak dengan mudah menautkan TWK dengan stigma intoleran, radikalisme, kadrun, Taliban, dan sejenisnya.

“Permintaan PGI kepada pemerintah patutlah dimaknai sebagai control public terhadap kebijakan yang diambil, hal mana harus dilakukan sebagai bentuk partisipasi gereja dalam gerak kebangsaan,” tulis PGI di poin terakhir.

Sebagai penutup, PGI kembali meminta pemerintah untuk secara transparan menyampaikan alasan pemberhentian puluhan pegawai KPK melalui instrumen TWK yang dipakai.

Load More