Jika penganiayaan itu menyebabkan hewan tersebut sakit lebih dari satu minggu, luka berat, cacat, hingga kematian, maka ancaman hukumannya mencapai sembilan bulan penjara.
Sementara, Pasal 406 ayat (2) menyebut pembunuhan hingga penghilangan hewan milik orang lain mendapat ancaman hukuman dua tahun dan delapan bulan penjara.
Menurut Doni, hukuman dalam aturan tersebut masih terlalu ringan, sehingga tak mampu membuat efek jera bagi pelaku penyiksa hewan. "Dan seandainya terbukti, dia [biasanya] kenanya hukuman percobaan... Dan dia [pelakunya] tidak ditahan," katanya.
Dalam kasus Tayo, pasal-pasal tersebut digunakan sebagai tambahan dalam penuntutan. Jeratan utama bagi pelaku justru menggunakan Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP terkait pencurian di mana ancaman hukuman paling lama tujuh tahun penjara.
Baca Juga:Kemenangan Kucing Tayo di Pengadilan Bisa Kurangi Kasus Penyiksaan Hewan?
Pasal pencurian ini yang menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku.
"Kita mesti cermat-cermat memilih kasusnya, dakwaannya, pasalnya," kata Doni yang lebih mengedepankan pasal pencurian yang lebih berat hukumannya dibandingkan pasal penganiayaan hewan.
Dalam persoalan aturan hukuman bagi penyiksa hewan yang terlalu ringan, Doni menyerukan adanya perubahan regulasi. "Kami ingin ada revisi KUHP, terlebih pada pasal-pasal tentang hewan," katanya.
Sejauh ini, Animal Defender Indonesia telah menangani tujuh kasus terkait penyiksaan hewan. Namun, sebagian besar kasusnya terhenti.
"Ada yang beberapa mandek, ada yang pelapornya masuk angin, tarik laporannya, karena pendekatan terlapor di luar pengetahuan kita," kata Doni.
Baca Juga:Penjagalan Kucing di Medan Divonis 2,5 Tahun Penjara
Selain itu, kata dia, umumnya aparat penegak hukum masih "meremehkan" laporan kasus penyiksaan hewan.
"Semua ditertawakan. Jadi, ini memang hal yang remeh buat mereka. Dan biasanya karena ketidaktahuan, lalu menganggap ini remeh," jelas Doni.
Menggunakan kekuatan medsos
Jalan yang ditempuh agar kasus penyiksaan hewan ini mendapat perhatian aparat penegak hukum adalah menggunakan media sosial.
"Aparat penegak hukum itu juga serba salah, kalau misal viral tapi tidak bergerak mereka makin habis. Mereka antisipasi keresahan masyrakat. Kuncinya adalah keresahan, di mana ada keresahan, di situ penegak hukum bergerak," kata Doni.
Namun, viral di media sosial paling lama bertahan "1-2 minggu", sehingga dibutuhkan persiapan "waktu dan mental" agar kasusnya bisa terus berlanjut.