Scroll untuk membaca artikel
Galih Prasetyo
Senin, 29 Juli 2024 | 16:13 WIB
Ilustrasi siswa SMA. [Antara/Herman Dewantoro]

SuaraBekaci.id - Keputusan Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak, termasuk dari kalangan guru di Kota Bekasi.

Meski terkesan terburu-buru, beberapa guru mengaku setuju dengan kebijakan tersebut karena dinilai lebih efektif dalam mengembangkan minat dan bakat anak. Namun, beberapa juga mengaku tidak sepakat karena keputusan tersebut dianggap problematik.

Erma (27) seorang guru Biologi dan Matematika di salah satu SMA Swasta di Kota Bekasi mengatakan, penghapusan jurusan di SMA membuat siswa bisa memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat dan kemampuan mereka.

“Jadi siswa bisa lebih fokus untuk membangun pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi lanjutnya,” kata Erma kepada SuaraBekaci.id, Senin (29/7/2024).

Baca Juga: Breaking News! Bus Kemenhan Diduga Tabrak Pria Tunarungu di Bekasi

Erma juga meyakini, bahwa penghapusan jurusan di SMA juga akan menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru.

Ilustrasi sekolah, serba-serbi jurusan IPA IPS dihapus (freepik)

“Dengan Kurikulum Merdeka, semua murid lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua program pendidikan (prodi) di perguruan tinggi melalui jalur tes tanpa dibatasi oleh jurusannya ketika SMA atau SMK,” ucapnya

Dia pun berharap, ke depannya kurikulum yang baru ini dapat memajukan pendidikan Indonesia dan para siswa bisa lebih memahami pelajaran yang telah dipilih sesuai minat dan bakatnya.

Tanggapan positif dari penghapusan jurusan di SMA juga datang dari seorang guru Sejarah bernama Murni (30).

Dia mengaku setuju dengan kebijakan baru ini, karena penghapusan jurusan sangat mendukung persiapan siswa terhadap kelanjutan pendidikan tinggi dan karir siswa ke depannya.

Baca Juga: Gaya Sporty Tri Adhianto Saat Dapat Dukungan dari PKB di Pilkada Kota Bekasi

“Kebijakan ini juga sangat memudahkan siswa untuk lebih mengeksplorasi minat, bakat dan karirnya ke depan,” ujar Murni.

Lagi pula kata Murni, penghapusan jurusan ini tak benar-benar membuat siswa tidak bisa lagi mendalami jurusan yang diminati.

Menurutnya, siswa tetap bisa mendalami jurusan yang mereka suka dengan memilih mata pelajar yang relevan dengan minat dan bakatnya.

“Di madrasah saya sendiri kelas yang mengampu mapel (mata pelajaran) IPA ada 2 kelas yaitu XI A dan XI B. Kelas XI B mapel IPA nya adalah matematika & fisika, jadi siswa yang ingin kuliah di program studi teknik, bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran fisika dan matematika , tanpa harus belajar mata pelajaran Biologi,” jelasnya.

Siswa SMA Ubah Limbah Plastik Jadi Produk Bernilai Tinggi Lewat Program SCYEP (Dok. SCYEP)

Meski sepakat dengan penghapusan jurusan di SMA ini, Murni mengaku bahwa penerapan kebijakan baru ini ini bersifat terburu-buru.

Sosialisasi yang minim membuat sekolah mau tidak mau harus mampu mengikuti dan menerapkan kebijakan ini dengan segera juga dengan keterbatasan yang ada.

“Pastinya ada beberapa kendala dan tantangan yang dialami sekolah dari kebijakan yang sangat cepat diterapkan ini, seperti SDM guru itu sendiri, yang mana setiap sekolah tidak rata memiliki SDM guru yg mumpuni dan memadai secara jumlah dalam mengisi kelas-kelas berdasarkan mapel pilihan tadi,” ucap Murni.

Kemudian kendala lainnya ada di fasilitas sekolah. Murni menyebut sekolah harus mampu menyiapkan ruangan kelas dan juga persiapan fasilitas pendukung lain seperti laboratorium yang memadai ataupun ruangan tambahan untuk praktik belajar siswa.

Selain itu Murni mengatakan, penghapusan jurusan di SMA sangat memengaruhi jam pelajaran yang diampu oleh masing-masing guru mata pelajaran.

Banyak kemungkinan dari kebijakan ini guru tidak mendapatkan jam pelajaran dengan seimbang.

“Contoh di satu sekolah yang mengambil mapel pilihan IPA lebih banyak dibanding mapel pilihan IPS. Sehingga guru yang banyak diproduktifkan adalah guru mapel pilihan IPA, sedangkan guru mapel pilihan IPS sedikit,” ucapnya.

“Nah, hal seperti ini masih menjadi PR dan harus diperhatikan dalam kebijakan ini dan harapannya pemerintah bisa lebih memperhatikan tantangan yang cukup problematik dari kebijakan ini,” sambung Murni.

Berbeda dengan Murni dan Erma, seorang guru Biologi berinisial LA (22) mengaku tidak setuju dengan keputusan pemerintah menghapus jurusan di SMA. Sebab, menurutnya keputusan ini tidak seimbang dengan jumlah SDM guru.

“Tidak setuju, karena dengan kebijakan pada saat ini terkait jurusan dengan SDM guru yang ada masih belum seimbang,” kata LA.

Satu siswa SMA Negeri 71 Jakarta, Duren Sawit, Jakarta Timur diduga terkonfirmasi positif Omicron, varian baru Covid-19. (Suara.com/Yaumal)

Sama seperti yang disampaikan Murni, LA menyebut kebijakan baru ini juga bakal berdampak pada ketidak setaraan jumlah jam mengajar antar guru.

“Dengan adanya ketidakseimbangan antara minat siswa dengan SDM guru. Sehingga, banyak menyebabkan beberapa guru akan kehabisan jam atau hanya mendapatkan jam mengajar sedikit,” tuturnya.

LA juga menilai keputusan ini terlalu terburu-buru tanpa melihat situasi dan kondisi di lapangan. Oleh karenanya, dia meminta pemerintah untuk bisa meninjau kembali kebijakan baru ini.

“Harus lebih diulas dan dipelajari kembali terkait keadaan dilapangan. Dengan adanya kebijakan yang sangat cepat menjadikan sekolah tidak siap dengan perubahan yang ada,” pungkasnya.

Kontributor : Mae Harsa

Load More