Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Selasa, 27 Juli 2021 | 15:35 WIB
Petugas tengah menggotong peti jenazah pasien COVID-19 untuk dimakamkan di TPU Jombang, Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Kamis (1/7/2021) malam. [Ist]

SuaraBekaci.id - Di Mojokerto, Jawa Timur, pria paruh baya asal Desa Pacet, Kecamatan Pacet, bernama Nur Ali meninggal dunia saturasi oksigen dalam darahnya tinggal 45 persen. Parahnya Nur Ali ditolak 9 rumah sakit.

Normalnya 95 persen ke atas. Keluarganya bukan tidak berusaha membawa Nur Ali ke RS agar segera mendapat pertolongan.

Dilansir Solopos.com, sudah sembilan RS didatangi, namun mereka semua menolak. Alhasil, Nur Ali menghadap Sang Pencipta sebelum tersentuh bantuan medis.

Warga Bintan mengebumikan pasien COVID-19 tanpa alat pelindung diri yang lengkap. (ANTARA/Nikolas Panama)

Kisah tragis ini bermua saat Ali mendadak sesak napas saat tidur, Minggu (25/7) sekitar pukul 07.00 WIB.

Baca Juga: Cara Meningkatkan Saturasi Oksigen Pasien Covid-19 Isolasi Mandiri di Rumah

Duda anak satu ini tinggal bersama keluarga adik kandungnya di Dusun Pacet Utara, Desa Pacet. Ia sempat mendapat bantuan pernapasan melalui oksigen kemasan botol.

Namun, dua botol oksigen portabel itu habis dalam hitungan menit. Sehingga Ali dilarikan ke Puskesmas Pacet.

“Di Puskesmas Pacet dikasih oksigen, saturasinya 45 sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Namun, saya dirusuh mencari ambulans sendiri karena ambulans puskesmas akan dipakai tracing ke Claket dan Sajen,” kata kakak Kandung Ali, Yeti Muliah, 52, Selasa (27/7/2021).

Suasana pilu menyelimuti prosesi pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (19/7/2021). (Suara.com/Yaumal Asri)

Saat itu, lanjut Yeti, petugas Puskesmas Pacet juga tidak mencarikan rumah sakit rujukan untuk Ali.

Beruntung ia mendapat pinjaman ambulans milik Desa Kesimantengah, Kecamatan Pacet. Dipandu Kades Kesimantengah, Yeti berkeliling mencari rumah sakit untuk adik kandungnya.

Baca Juga: Menkes Budi: Kalau Saturasi di Atas 94 Persen Gak Usah Dibawa, Penuh-penuhi Rumah Sakit

Selama mencari rumah sakit, Ali hanya mengandalkan asupan oksigen dari tabung 1 meter kubik di dalam ambulans untuk bertahan hidup.

Sayangnya, semua rumah sakit yang ia datangi menolak untuk merawatnya dengan berbagai alasan.

RS Sumberglagah-Pacet menolak dengan alasan tidak ada kamar dan oksigen menipis. Begitu pula dengan RSUD Prof dr Soekandar-Mojosari yang mengaku oksigen menipis, RSI Arofah-Mojosari oksigen terbatas, RS Sido Waras-Bangsal kamar penuh dan oksigen menipis, RS Gatoel-Kota Mojokerto IGD penuh dan oksigen menipis.

Anggota UPL MPA Unsoed menjadi relawan tim pemakaman jenazah Covid-19 yang tergabung dalam BPBD Banyumas saat bertugas di wilayah Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. [Dok Pribadi]

“Sampai di RS Gatoel sekitar jam 10.00 WIB. Adik saya sempat dicek saturasinya naik menjadi 65 persen setelah dapat oksigen di ambulans. Namun, RS Gatoel menolak merawat karena IGD penuh,” terang Yeti.

Enggan menyerah, Yeti membawa Ali ke RSI Hasanah dan RSUD dr Wahidin Sudiro Husodo di Kota Mojokerto, serta ke RSUD RA Basoeni di Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Namun, tiga rumah sakit itu menolak merawat Ali dengan alasan ruangan penuh dan stok oksigen menipis.

“Satu-satunya rumah sakit yang sempat mengecek kondisi adik saya hanya RS Gatoel. Rumah sakit lainnya langsung menolak tanpa melihat kondisi adik saya,” ungkapnya.

Ibu empat anak ini lantas membawa Ali ke RS Kartini di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto untuk tes swab antigen.

Sampai di wilayah Kecamatan Bangsal sekitar pukul 10.30 WIB, oksigen di dalam ambulans mendadak habis.

Sontak Ali kembali mengalami sesak napas dan panas.

“Saya bawa ke RS Kartini untuk tes swab, tapi ditolak karena kondisinya sudah kolaps sehingga tidak sempat tes swab,” jelas Yeti.

Setelah kesulitan mendapatkan layanan rumah sakit, Yeti berusaha mencarikan oksigen untuk adik kandungnya. Sehingga ia membawa Ali kembali ke Puskesmas Pacet. Lagi-lagi ia harus menelan pil pahit.

“Saya bawa kembali ke Puskesmas Pacet juga ditolak dengan alasan tak ada oksigen. Saya sempat marah-marah karena sebelum berangkat mencari rumah sakit oksigen masih ada. Saat kami kembali alasannya oksigen tidak ada,” ujarnya.

Sekitar pukul 11.00 WIB, Yeti membawa Ali pulang. Saat itu, anak-anaknya kelabakan mencari oksigen medis. Mereka baru mendapatkan pinjaman tabung oksigen 1 meter kubik di wilayah Kutorejo, Kabupaten Mojokerto.

“Adik saya meninggal dunia pukul 11.30 WIB. Saat itu menunggu oksigen dari Kutorejo, anak saya dapat pinjaman dari temannya,” tuturnya.

Yeti dan keluarganya terpaksa memandikan dan memakamkan sendiri jenazah Ali. Tak satu pun tetangganya berani mendekat karena khawatir Ali meninggal akibat Covid-19.

Ia berharap penderitaan yang dialami adik kandungnya itu menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Saat Corona mengganas, pemerintah seharusnya mampu menjamin ketersediaan oksigen medis dan layanan rumah sakit.

“Harusnya pemerintah menyediakan oksigen. Masa rumah sakit sebesar itu tidak ada oksigen. Pihak rumah sakit harusnya memberi solusi, memberi arahan, bukan menolak

Load More