Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika | Dini Afrianti Efendi
Rabu, 13 Januari 2021 | 14:15 WIB
Presiden Joko Widodo (tengah) bersiap disuntik dosis pertama vaksin COVID-19 produksi Sinovac oleh vaksinator Wakil Ketua Dokter Kepresidenan Prof Abdul Mutalib (kanan) di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/1/2021). [ANTARA FOTO/HO/Setpres-Agus Suparto]

SuaraBekaci.id - Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang menerima vaksin Covid-19. Ia telah melakukan vaksinasi di Istana Kepresidenan, Rabu (13/1/2021).

Namun, Jokowi tidak bisa langsung menjalankan aktivitas. Ia harus menunggu  selama 30 menit sebelum mulai bekerja kembali. Tapi apa ya kira-kira alasannya?

Ketua dokter kepresidenan dari RSPAD Letjen dr. Budi Sulistian mengatakan, hal itu termasuk dalam proses pelaksanaan vaksinasi. Di mana selama 30 menit akan dilakukan monitoring dan pencatatan terhadap reaksi vaksin yang disuntikan. 

"Setiap orang yang melakukan vaksinasi akan menjalani proses yang sama," kata dokter Budi di Istana Presiden, pagi tadi, Rabu (13/1/2021).

Baca Juga: Tolak Kampanye Anti Vaksin, PBNU: Percayalah Pemerintah Tak Celakai Rakyat

Selain untuk monitoring dan pencatatan, waktu tunggu 30 menit juga bertujuan untuk memantau adanya kemungkinan adanya reaksi anafilaktik. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan vaksinasi Covid-19 perdana di Istana Negara, Rabu 13 Januari 2021 / [Foto Istimewa]

Sebagaimana dijelaskan pada Keputusan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan no. HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Oandemu Covid-19, reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas generalisata atau sistemik yang terjadi dengan cepat.

Umumnya reaksi bisa terjadi pada 5 sampau 30 menit sesudah vaksin suntikan. Reaksi yang ditumbulkan bisa berdampak serius bahkan mengancam jiwa. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.

Disebutkan bahwa reaksi anafilaktik adalah kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) paling serius yang juga menjadi risiko pada setiap pemberian obat atau vaksin. Oleh sebab itu penangannya harus dilakukan dengan cepat dan tepat mulai dari penegakkan diagnosis sampai pada terapinya di tempat kejadian.

Setelah kondisi penerima vaksin dinyatakan stabil bisa dipertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit terdekat. Kementerian Kesehatan menetapkan bahwa setiap petugas pelaksana vaksinasi harus sudah kompeten dalam menangani reaksi anafilaktik. 

Baca Juga: Vaksinasi Covid-19 Dimulai Hari Ini, Ketua IDI Ucap Syukur Hamdallah

Gejala klinik suatu reaksi anafilaktik juga bisa berbeda-beda tiap orang sesuai dengan berat, ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang. Namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. 

Reaksi anafilaktik biasanya melibatkan beberapa sistem tubuh, tetapi ada juga gejala-gejala yang terbatas hanya pada satu sistem tubuh seperti gatal pada kulit.

Sedangkan tanda awal anafilaktik umumnya kemerahan menyeluruh dan gatal dengan obstruksi jalan nafas atas dan/atau bawah. Pada kasus berat dapat terjadi keadaan lemas, pucat, hilang kesadaran dan hipotensi. Pada dasarnya, makin cepat reaksi timbul maka makin berat keadaan penderita.

Sedangkan gejala yang paling jarang terjadi adalah hingga penurunan kesadaran sebagai manifestasi tunggal anafilaktik. Gejala tersebut hanya terjadi sebagai suatu kejadian lambat pada kasus berat. Denyut nadi sentral yang kuat, seperti karotis, tetap ada pada keadaan pingsan, tetapi tidak pada keadaan anafilaktik. 

Load More