Scroll untuk membaca artikel
Antonio Juao Silvester Bano
Senin, 14 Juni 2021 | 08:30 WIB
Menkumham Yasonna Laoly. (Suara.com/Novian)

SuaraBekaci.id - Penyerangan harkat dan martabat kepala negara sahabat yang sedang bertugas di Indonesia diatur dalam draf rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP). Setiap orang yang melakukan hal tersebut terancam hukuman pidana penjara paling lama 2 tahun.

Dilansir dari Antara, dalam draf RKUHP, pasal yang mengatur hal tersebut termuat pada BAB III tetang tindak pidana terhadap negara sahabat.

Pada pasal 226 RKUHP disebutkan, bahwa setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri wakil dari negara sahabat yang bertugas di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Tidak hanya bagi kepala negara, ancaman pidana dua tahun kurungan penjara juga bisa dikenakan bagi masyarakat apabila melakukan hal yang sama terhadap wakil negara sahabat yang sedang menjalankan tugas di Indonesia.

Baca Juga: Termasuk Delik Aduan, Presiden Tidak Usah Repot Lapor Penghinanya jika Dirasa Tak Perlu

Kemudian, pada pasal 228 ayat satu disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum.

Kemudian memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan kepala maupun wakil negara sahabat dengan maksud isi penyerangan diketahui umum, dipidana tiga tahun penjara atau denda paling banyak kategori IV.

"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 226 sampai dengan pasal 228 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan," bunyi pasal 229 ayat satu.

Sedangkan pada ayat dua pasal 229 dikatakan bahwa pengaduan yang dimaksud pada ayat satu dapat dilakukan secara tertulis oleh kepala negara sahabat dan wakil negara sahabat.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan pasal-pasal yang mengatur pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP bukan untuk membatasi kritik.  Melainkan, sebagai penegas batas masyarakat sebagai bangsa yang beradab.

Baca Juga: Aktivisme Borjuis: Kenapa Kelas Menengah Gagal Pertahanankan Demokrasi?

"Sebab, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik yang disampaikan oleh masyarakat," ujarnya.(Antara)

Load More